Eksistensi Adat Perkawinan Masyarakat Bugis Pare-pare dalam Perspektif Hukum Islam

Main Author: Sesse, Muh. Sudirman
Format: Report NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2017
Subjects:
Online Access: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/7699/1/Disertasi_Muh.%20Sudirman%20Sesse.pdf
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/7699/
Daftar Isi:
  • Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh pemahaman bahwa Bentuk-bentuk tradisi perkawinan masyarakat Bugis Pare-pare dari setiap tahap pelaksanaannya terdapa tujuh bentuk tradisi yang masih tetap dilaksanakan meskipun pada beberapa hal telah mengalami perubahan. Bentuk-bentuk tradisi yang dimaksud adalah; tradisi penyerahan pattenre’āda, massarāpo, cemme passīling (mandi majang), tudang mpenni (Mappacci), madduppa botting, mappasikarāwa, dan penyerahan penne anreang. Filosofis yang terkandung pada simbol-simbol adat Perkawinan masyarakat Bugis Pare-pare pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ajaran Islam, namun pada bagian tertentu masih perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian, seperti; 1) tradisi lomba berdiri pada acara mappasikarāwa, dengan maksud siapa yang menginjak terlebih dahulu dialah berkuasa atas yang lainnya. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan perkawinan. 2) menabur beras pada tradisi madduppa botting dan tradisi mappacci, hal ini mengandung unsur mubazir. Pandangan hukum ulama Kota Pare-pare mengenai adat masyarakat Bugis dalam perkawinan dapat dibedakan pada tiga kelompok, yaitu: 1) haram dengan alasan; (a) Mengandung unsur kemusyrikan, (b) Mengandung unsur bid’ah, (c) Mengandung unsur pemborosan, (d) Mempersulit diri dan, (e) mengandung unsur taklid buta. 2) makruh dengan alasan bahwa upacara adat yang dilakukan masyarakat dalam perkawinan pada umumnya sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sosial kemasyarakatan saat ini, disamping itu sudah banyak yang melenceng dari makna yang sebenarnya, oleh karena itu sebaiknya perlu ditata ulang. 3) mubah dengan alasan bahwa upacara adat yang dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat telah disesuaikan dengan konsep dan nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dan termasuk Al-‘urf al-sahīh, yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan dengan nāsh (ayat dan hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak membawa mudarat bagi pelakunya. Dilihat dari kemaslahatan berada pada tataran tahsīniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu maqāshid al Syariyyah (tujuan hukum Islam) dan tidak pula menimbulkan kesulitan.