Sifat-sifat Allah dalam Perspektif Ahlussunnah dan Mu'tazilah: Studi Komparatif Tafsir Karya al-Ṭabari dan al-Zamakhshari
Main Author: | Solahudin |
---|---|
Format: | Doctoral |
Terbitan: |
Nusa Litera Inspirasi
|
Daftar Isi:
- Penelitian ini ditulis untuk Menganalisis pemikiran ibn Jarīr al- Ṭabarī (w:310 H) dalam tafsirnya Jāmi' al-Bayān fī Ta`wīl al-Qur`ān serta pemikiran al-Zamakhsharī (w: 538 H) dalam tafsirnya al- Kashshāf 'an Haqāiq gawāmiḍ al-Tanzīl wa ?Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta`wīl tentang sifat-sifat Allah, baik sifat dhātiyah maupun sifat fi'liyah-Nya, serta untuk mencermati persamaan dan perbedaan metodologi kedua mufassir tersebut dalam menetapkan sifat-sifat Allah dalam Alquran. Penelitian ini berbeda dengan jurnal yang ditulis oleh Mohd Hamidi Ismail dan Mohd Fauzi Hamat dari Malaysia yang berjudul ?Af'āl Allah Menurut Ahl al-Sunnah wa al-Jamā'ah?, atau karya lainnya karena di dalamnya tidak ada pembahasan sifat Allah yang mengomparasikan antara tafsir karya al-Ṭabarī dan al-Zamakhsharī. Penelitian ini disusun menggunakan pendekatan tafsir tematik komparatif dengan cara mengumpulkan dan memilih teks-teks ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah baik dalam Alquran ataupun dalam Sunnah Nabawiyah. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa al-Ṭabarī selalu mensifati Allah sesuai dengan teks ayat dan cenderung tekstualis dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Adapun al-Zamakhsharī secara umum mengatakan Allah tidak memiliki sifat, atau menetapkan sifat akan tetapi dengan sering mentaḥrīf (memalingkan) dari makna lahir kepada makna yang lain. Jika ditelisik maka akan didapati bahwa kedua mufassir ini dalam menafsirkan ayat-ayat sifat sebenarnya bertujuan mengagungkan Allah. Hanya saja keduanya menggunakan pemahaman yang berbeda. Al-Zamakhsharī mengagungkan Allah dengan cara tidak mensifati- Nya, sebab menurut Mu?tazilah jika Allah memiliki banyak sifat maka akan terjadi banyak Zat-Nya yang berkonsekwensi akan rusaknya tauḥīd. Adapun al-Ṭabarī mengagungkan Allah dengan cara tunduk dan patuh terhadap kabar dari-Nya. Menurutnya tidak ada yang lebih mengetahui Allah selain Allah itu sendiri kemudian Rasulullah, sehingga ketika Allah mensifati diri-Nya atau Rasulullāh mensifati- Nya dengan suatu sifat maka sudah menjadi kewajiban kaum mulimin untuk mengimaninya tanpa menyamakan dengan makhluk-Nya.