Perceraian Karena Suami Mafqud Menurut Hukum Islâm (Studi Putusan Pengadilan Agama Cibinong No. 0406/Pdt.G/2016/PA.Cbn)
Main Author: | Ardiansyah Pratama Putra |
---|---|
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
UIN Syarif Hidayatullah
|
Daftar Isi:
- Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan perceraian karena suami menghilang (mafqud). Istri yang ditinggal suaminya akan mendapatkan banyak cobaan, terutama masalah nafkah. Hal tersebut juga akan berdampak besar dengan status pernikahan bagi istri tersebut, apakah dia masih menjadi istri dari suaminya yang telah menghilang atau mungkin dia boleh mengajukan cerai. Dengan adanya permasalahan tersebut, penulis merasa sangat perlu untuk mengangkat permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah agar kaum perempauan umumnya di Indonesia dan khususnya di Kabupaten Bogor, tetap terjaga hak-hak mereka sebagai seorang istri untuk mendapatkan nafkah lahir maupun nafkah batin dan mendapat perlindungan dari seorang suami serta mengetahui batas waktu maksimal dan minimal bagi seorang istri untuk menunggu kembali datangnya suami yang telah tidak diketahui keberadaannya dan tidak memberi kabar sama sekali. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menggunakan data primer dengan menggunakan analisis kualitatif yang memaparkan persoalan hukum yang telah tertulis dalam al-Qur?ân dan al- Hadîts serta Undang-Undang yang kemudian diinterpretasikan oleh para ?ulamâ dan ahli hukum sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Data primer yang bersumber dari putusan Pengadilan dan referensi dianalisis secara kualitatif dengan menghasilkan deskripsi permasalahan. Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa seorang istri yang suaminya menghilang dalam kurun waktu yang lama, boleh mengajukan cerai disebabkan hak-haknya tidak terpenuhi oleh suaminya tersebut. Dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 waktu batas minimal istri boleh mengajukan cerai karena suaminya menghilang adalah dua tahun sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal adalah empat tahun. Namun kebolehan istri untuk mengajukan cerai karena sebab-sebab yang lain, seperti ia tidak mendaptkan nafkah lahir batin serta kepergiannya tidak meninggalkan bekal untuk kebutuhan istrinya.