?DISPARITAS PUTUSAN PERCERAIAN PELAKU KONVERSI AGAMA (Studi Kasus Putusan Nomor 132/Pdt.G/2013/Pn.Dpk, Nomor 1370/Pdt.G/2014/Pa.Dpk dan Nomor 217/Pdt.G/2014/Pta.Bdg)

Main Author: Luthfan Dimas Pratama
Format: Bachelors
Terbitan: UIN Syarif Hidayatullah
Subjects:
Daftar Isi:
  • Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: a) mengetahui status perkawinan pelaku konversi agama, apakah mereka harus kembali melakukan pembaruan akad dan pencatatan perkawinan sesuai dengan agama barunya ataukah tidak? b) untuk mengetahui pengadilan manakah yang berwenang memutus perkara perkawinan bagi pasangan pelaku konversi agama yang mencatatkan perkawinannya di dua instansi pencatatan perkawinan tersebut, dengan melakukan studi kasus putusan terkait. Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukanlah penelitian dengan jenis penelitian kualitatif dan pendekatannya menggunakan pendekatan yurudis normatif. Sumber data primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam dan Hasil Putusan Nomor 132/Pdt.G/2013/Pn.Dpk, Nomor 1370/Pdt.G/2014/Pa.Dpk dan Nomor 217/Pdt.G/2014/Pta.Bdg., sumber data sekunder, yaitu : studi kepustakaan dan situs-situs internet yang dapat dipertanggung-jawabkan yang tentunya memiliki keterkaitan dengan masalah skripsi, pendapat para ahli atau sumber data yang lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. Skripsi ini menyimpulkan: a) Perkawinan pelaku konversi agama di Indonesia adalah sah tanpa harus melakukan akad nikah baru sesuai agama Islam. Hal ini disepakati oleh ulama, dengan ditemukannya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. mengakui dan menetapkan ikatan perkawinan mereka tanpa harus ada akad nikah ulang terhadap para sahabat yang sudah menikah sebelum masuk Islam kemudian mereka muallaf, begitu juga ditinjau dari hukum positif, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama. b) Pengadilan yang berwenang memutus perkawinan pelaku konversi agama, yang mencatatkan perkawinannya di dua instansi perkawinan di kota Depok adalah Pengadilan Agama. Argumentasinya adalah pada perkawinannya yang pertama yang dilakukan secara Kristen adalah tidak sah dan batal demi hukum, karena terdapat perbedaan status agama dari masing-masing pihak yaitu istri beragama Kristen dan suami beragama Islam. Padahal hukum yang berlaku bahkan seluruh ormas Islam di Indonesia secara tegas tidak mengakui adanya perkawinan beda agama, sehingga status perkawinannya yang pertama adalah tidak sah dan batal demi hukum. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinannya yang kedua yang dilakukan setelah Istri mengkonversikan agamanya kedalam Islam. Dengan demikian, pengadilan yang berwenang dalam menerima dan memutus perkara perceraian pelaku konversi agama tersebut adalah Pengadilan Agama, karena perkawinan yang dinyatakan sah adalah perkawinannya yang kedua yang dilakukan secara Islam di KUA Sukajadi, Bandung.