Islamisasi sains perspektif Naquib al-Attas

Main Author: Yuyun Novia
Format: Bachelors
Terbitan: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Subjects:
Online Access: http://tulis.uinjkt.ac.id/file?file=digital/2017-8/81382-YUYUN NOVIA-FUF.pdf
Daftar Isi:
  • Relasi agama dan sains dalam berbagai peradaban telah lama didiskusikan dan menuai banyak respon. Pada paruh kedua abad ke-20, diskursus mengenai sains ini kembali ramai ditanggapi oleh kalangan sarjana Muslim, terutama kaum modernis. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa kaum Muslim yang saat ini tertinggal dari Barat, terutama dalam bidang sains dan teknologi, harus mengadopsi segala aspek peradaban Barat, baik pemikiran, semangat, juga sains dan teknologi. Kaum modernis beranggapan bahwa dengan mengikuti Barat, maka kebangkitan kaum Muslim akan dapat diraih. Namun demikian, anggapan untuk mengekor pada Barat tersebut ditampik oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia memandang bahwa Islam memiliki khazanah pemikiran dan peradaban yang khas dan berbeda dari apa yang dimiliki dan kini dikembangkan oleh peradaban Barat. Meskipun terdapat beberapa persamaan dalam hal yang bersifat artifisial, antara Islam dan Barat terbentang perbedaan yang begitu dalam mengenai hal-hal prinsipil, yaitu mengenai pandangan alam yang mencakup konsep agama, manusia, ilmu, penciptaan, kebebasan, etika, dan kebahagiaan. Al-Attas memandang bahwa sains Barat yang menyatakan diri sebagai netral dalam arti bebas nilai tidaklah demikian adanya, telah dirasuki oleh visi intelektual dan psikologis dari peradaban Barat. Hal ini memicu timbulnya problem dalam sains Barat yang kini diadopsi dan dipelajari secara global. Problem ini muncul berupa pengunggulan rasio yang menafikan metode epistemologi lain, juga diangkatnya keraguan sebagai alat yang sah untuk mencapai kebenaran. Maka menurutnya, sains harus dibersihkan dari unsur-unsur Barat melalui proses dewesternisasi. Setelah itu, al-Attas menyatakan proses berikutnya untuk mengembalikan sains pada hakikatnya yang benar, yaitu dengan menginternalisasikan elemen pandangan hidup Islam pada sains. Inilah proses ganda dari ide besar al-Attas yakni Islamisasi sains. Islamisasi menurut al-Attas adalah pertama-tama pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, dan nasional-kultural yang bertentangan dengan Islam, kemudian dari pengendalian sekular terhadap nalar dan bahasanya. Dengan landasan tauhid, melalui ide Islamisasi ini, al-Attas menegasikan pengkultusan terhadap hal-hal magis, pendewaan terhadap sesuatu, penyembahan pada nenek moyang juga pada tradisi kebangsaan dan kebudayaan, jika hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam. Definisi ini juga mencakup pembebasan manusia dari nalar sekuler. Implikasinya ialah manusia tidak lagi terkungkung oleh cara berpikir sekuler yang hanya mengandalkan rasio dan panca indera dalam meraih ilmu pengetahuan. Kemudian, melalui bahasa, al-Attas menunjukkan bahwa Islam ?melalui kata kunci Islami berbahasa Arab? juga telah berhasil mereformasi makna dan membawa pandangan hidup baru, yakni pandangan hidup Islam