Tinjauan yuridis mekanisme pemberhentian bupati menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (studi kasus pemberhentian Bupati Kabupaten Garut Aceng Fikri)

Main Author: Gagat Rahino
Format: Bachelors
Terbitan: Fakultas Syariah dan Hukum
Subjects:
Daftar Isi:
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab I ketentuan Umum ayat (5) dinyatakan bahwa ?Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan?. Pemerintahan daerah merupakan salah satu bentuk tindakan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat hal ini akan berdampak pada perkembangan pembangunan di berbagai daerah yang mungkin dulu tidak tersentuh oleh pemerintah pusat segala kegiatan ini dikenal dengan istilah otonomi daerah. Untuk menunjang berlangsungnya otonomi daerah dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat menjadi wakil pemerintahan di daerah ataupun sebagai kepala dalam melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan desentralisasi. Otonomi daerah dan kepala daerah di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sangat menarik untuk diamati dan dibahas secara ilmiah. Dalam pelaksanaannya banyak pemimpin daerah yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang, penyalahgunaan wewenang atau tidak sesuai dengan pelaksanaan Pemerintah Pusat, sehingga harus ditempuh upayaupaya hukum yang dibutuhkan untuk menanggulangi permasalahan ini. Kasus yang telah terjadi mengenai pemberhentian kepala daerah adalah pernikahan singkat yang dilakukan Bupati Garut Aceng Fikri yang diduga telah melangar sumpah jabatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan kasus (conceptual-approach). Informasi didapatkan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan banyak kekurangan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kekurangan yang terdapat dalam payung hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah suatu daerah jika ingin memberhentikan seorang kepala daerah harus menunggu putusan dari Mahkamah Agung tetapi disisi lain putusan mahkamah agung masih harus ditentukan oleh rapat paripurna DPRD hal ini merupakan masalah dalam dunia hukum Indonesia, selain itu pada kasus Aceng Fikri banyak terdapat keanehan dalam poin-poin dari putusan Mahkamah Agung