Status hak waris anak hasil nikah siri menurut kompilasi hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Main Author: | Muhammad Fahmi Zein |
---|---|
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
Fakultas Syariah dan Hukum
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan siri masih banyak terjadi di Indonesia. Masalahnya selalu sama, karena tidak ada ketegasan dari pemerintah apakah melegalkan atau melarang nikah siri. maka meskipun sah namun status pernikahan siri tidak mempunyai kekuatan di depan hukum karena tidak tercatat. Salah satu dampaknya adalah tidak diakuinya status keperdataan dari para pelaku nikah siri. Bahkan, yang lebih menggiriskan, anak-anak hasil pernikahan siri disamakan statusnya sebagai anak luar nikah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 sepakat tentang hal ini. Namun, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya merubah pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang bisa menjadikan anak luar nikah (termasuk anak hasil nikah siri) bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga dari pihak ayahnya asalkan dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayahnya tersebut. Dari sinilah terdapat perbedaan pandangan antara KHI dan UU Perkawinan tentang status keperdataan anak luar nikah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status kewarisan anak hasil nikah siri menurut KHI dan UU Perkawinan, serta menemukan solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk permasalahan ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan (1) tidak ada pengaturan khusus utamanya secara eksplisit baik pada KHI maupun UU Perkawinan tentang pernikahan secara siri. (2) sekalipun bersifat final dan mengikat, adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya merubah pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak serta merta menjamin bahwa anak-anak luar nikah termasuk anak hasil nikah siri bisa mendapatkan status keperdataan yang sah dari badan peradilan resmi. (3) diperlukan adanya ketegasan dari pemerintah untuk melegalkan atau melarang pernikahan siri supaya ada kejelasan dan menghindari kemungkinan lebih banyaknya korban yang ditimbulkan yang rentan menimpa perempuan dan anak-anak. Cara lainnya yang bisa dilakukan adalah sosialisasi pemerintah yang berisi himbauan untuk tidak menikah siri