Metode istinbath hukum Ahmad Ibn Hanbal dan Yusuf Al- Qaradawi tentang kedudukan hakim perempuan dalam Islam
Main Author: | Fadlin |
---|---|
Format: | Masters |
Terbitan: |
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- Pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, berpedoman pada teks al-Qur?an dan hadist. Menurutnya kata-kata ?kelebihan? yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan daya nalar dan fikir, yang dalam banyak hal, terutama dalam konteks proses peradilan, perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan laki-laki. Hadits tentang pemimpin perempuan: ?Tidak akan mengalami kesuksesan, suatu bangsa apabila pemimpin diserahkan kepada perempuan.?. Ketika menafsirkan hadits tersebut beliau yang melarang perempuan menjadi hakim, karena beliau juga menggunakan logika silogisme (hampir identik dengan qiyas). Logika silogeisme yang digunakannya dalam memahami hadits tersebut adalah bahwa, hadits tersebut bersifat celaan, sedangkan celaan membawa larangan, dan selanjutnya larangan itu berarti juga menunjukkan jeleknya sesuatu yang dilarangnya. Dari pernyataan ini jelas apapun alasannya keabsahan perempuan sebagai hakim tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan kata lain bathal sebagai hakim. Tidak saja menggunakan nash-nash syari?at sebagai argumentasi larangan perempuan sebagai hakim, akan tetapi mengemukakan faktor historis yang berkembang dalam peradaban umat Islam. Konon menurutnya, memang tidak pernah tercatat dalam sejarah, Rasulullah maupun para sahabat sesudahnya (khulafa al- Rasyidin), mengangkat perempuan sebagai hakim, jika saja secara syari?at dibolehkan, tentu akan ada perempuan yang diangkat menjadi hakim untuk menetapkan vonis terhadap tindak pidana yang dilakukan kaum perempuan. Terlepas dari akurat atau tidaknya argumentasi yang digunakan Ahmad ibn Hanbal, yang jelas bahwa kaum perempuan tidak sah jika diangkat sebagai hakim. Kemudian dalam perspektif Yusuf al-Qaradawi perempuan diperbolehkan menjadi hakim yang tentu sesuai dengan keahlian dalam bidangnya, dikarenakan tidak adanya dalil yang secara tegas melarang seorang perempuan menjadi hakim, sehingga jenis kelamin tidak menentukan seseorang untuk bisa menduduki jabatan hakim.