Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 20 tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Main Author: | Andy Faisal |
---|---|
Other Authors: | Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH; Dr. Sunarmi, SH, M. Hum |
Format: | Masters |
Bahasa: | ind |
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/4944 |
Daftar Isi:
- Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process of law. Konsekuensi logisnya, tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan, dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan, yaitu : bagaimana penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A UU No. 20 Tahun 2001) dalam pemberantasan korupsi dan apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang serta bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan beban pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan korupsi. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan merupakan penelitian hukum normatif yang diperluas, yaitu mengumpulkan, mengkaji dan menganalisis serta mensistematiskan kaidah-kaidah hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep tentang sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan korupsi yang didukung dengan penelitian lapangan sebagai penunjang (support). Hasil penelitian menunjukkan, pertama penerapan Pasal 37 A hanya dapat diterapkan di dalam persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga melakukan delik gratifikasi ataupun suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan Pasal 38 A, penerapannya hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 s/d Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Tuntutan perampasan harta benda tersebut diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan Requisitoir dalam perkara pokoknya. Kedua hambatan dalam penerapan (Pasal 37 A), antara lain berkaitan dengan rumusan Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu : kata-kata ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban”) seyogyanya tidak menjadi unsur Pasal 12 B. Ketiga pengaturan yang efektif dalam penerapan pembalikan beban pembuktian, antara lain melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktiannya ke arah asas praduga bersalah (Presumption of Guilt) dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu konsep HAM Indonesia. Untuk itu disarankan, pertama : agar pelaksanaan sistem pelaporan LHKPN dapat dilakukan secara intensif dan tegas, guna dapat memonitor terjadinya pidana suap atau gratifikasi dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua agar dilakukan peninjauan kembali terhadap rumusan delik Pasal 12 B karena rumusan ini kontra produktif dengan Pasal 37 B. Adapun rujukannya minimal kembali mengikuti rumusan Pasal 12 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Ketiga agar pengaturan pembalikan beban pembuktian perkara korupsi dapat diterapkan secara efektif, sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktiannya ke arah asas praduga bersalah dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu konsep HAM Indonesia.
- 08E01580.p