Pencemaran Nama Baik Yang Dilakukan Oleh Pers Ditinjau Dari KUHP Dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Main Author: Afrita, Ade
Other Authors: Ablizar, Madiasa, Nainggolan, Berlin
Format: Student Papers
Bahasa: ind
Subjects:
Online Access: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/13338
Daftar Isi:
  • Agar pers dapat menjalankan fungsi dan peranan pers dengan baik dibutuhkan suatu kebebasan. Oleh karena itu, Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan jaminan kemerdekaan yang professional kepada pers sesuai dengan amanat Ketetapan No. XVII/MPR/1998 yang juga ditegaskan dalam Pasal 28 Amandemen UUD 1945. Apabila pers tersandung hukum karena pemberitaannya dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang, pers selalu dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tulisannya. Oleh pengadilan, pers dikenai pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP karena menurut hakim Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak mengatur delik pencemaran nama baik. Pers kemudian menuduh hakim-hakim pengadilan telah melanggar asas lex specialis derogat legi generali. Kalangan pers berpendapat hakim harus menggunakan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers karena undang-undang tersebut telah mengatur penyelesaian delik pers melalui Hak Jawab. Dari uraian tersebut, penulis mempermasalahkan bagaimanakah kebebasan yang diberikan oleh undang-undang dan bentuk pelaksanaan dari kebebasan pers? apa yang menjadi faktor timbulnya delik pers pencemaran nama baik serta bagaimana upaya pencegahannya? bagaimana mekanisme penyelesaian delik pers khususnya pencemaran nama baik? dan dapatkah Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijadikan lex specialis dari KUHP? Dalam membahas permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan memakai buku-buku kepustakaan yang relevan, peraturan perundang-undangan, surat kabar, majalah dan internet sedangkan penelitian lapangan (field research), penulis mengambil lokasi penelitian di Poltabes Medan dan Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Sumatera Utara. Kesimpulan yang dapat diambil penulis yaitu, kebebasan pers memang mutlak ada dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi, kebebasan pers itu tidaklah absolut sifatnya. Semua pelaku pers harus menjunjung tinggi hukum. Kebebasan dan tanggung jawab perlu dilaksanakan secara berimbang karena kebebasan tanpa tanggung jawab dapat mengakibatkan terjadinya delik pers. Lagi pula, pers memiliki batasan kebebasan dalam menjalankan profesinya yaitu moral, norma dan tata nilai dalam masyarakat, ekonomi, kode etik jurnalistik dan KUHP. Apabila ada kesalahan pemberitaan yang menjurus pada pencemaran nama baik sebaiknya digunakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu melalui Hak Jawab (walaupun belum ada suatu jurispudensi dari Mahkamah Agung yang menyatakan hal itu) karena penyelesaian tersebut jauh lebih efektif dan sama-sama menguntungkan kedua belah pihak dari pada penyelesaiannya dibawa ke pengadilan yang akan membutuhkan biaya besar, waktu yang cukup lama dan hubungan relasional antara pers dan sumber berita bisa retak.
  • 020200014