Daftar Isi:
  • Ketunarunguan mempengaruhi cara penyandang tunarungu dalam memandang, mengartikan, dan merasakan penguasaan ruang tempat mereka berada dan beraktivitas. Sebagai kaum masyarakat yang termarginalisasi, penyandang tunarungu membentuk dan bersatu dalam sebuah identitas kultural yang disebut dengan Deaf Culture. Walaupun semakin banyak orang yang mulai memahami dan menghargai kebutuhan spesial penyandang tunarungu dan Deaf Culture tersebut, dunia tempat kita hidup masih sangat dibentuk bagi orang-orang yang bisa mendengar. DeafSpace Project yang diprakarsai oleh kerjasama antara arsitek Hansel Bauman dan American Sign Language Deaf Studies Department di Universitas Gallaudet pada tahun 2005 beraspirasi untuk menyusun sebuah kumpulan standar desain arsitektur dan interior yang mendefinisikan ulang cara penyandang tunarungu melihat dan merasakan ruang serta mewujudkan impian penyandang tunarungu akan sebuah tempat yang bersahabat, fasilitatif, dan menghargai way of being mereka. Penyandang tunarungu sangat mengandalkan akses visual berbentuk transparasi sebagai cara mereka membentuk persepsi ruang, untuk berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, dan untuk melindungi diri dari berbagai faktor eksternal di lingkungan mereka. Akses visual berfokuskan transparasi dapat bersifat langsung atau tidak langsung dan kualitasnya ditentukan oleh beberapa faktor elemen interior, seperti tata ruang, pencahayaan, posisi, jarak, visibilitas, material, dan ukuran. Mengetahui implementasi elemen interior yang mengurus kebutuhan akses visual berfokus transparasi penyandang tunarungu dengan benar dapat membantu desainer interior menciptakan sebuah gubahan interior yang bersifat lebih universal, akomodatif dan peduli terhadap berbagai kebutuhan khusus penyandang tunarungu, dan menciptakan berbagai tempat di mana penyandang tunarungu dapat merasa diterima dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat.