POLICY ON CUSTOMARY FOREST MANAGEMENT AFTER CONSTITUTIONAL JUSTICE DECREE NO. 35/PUU-X/2012: A CRITICAL REVIEW
Main Author: | Subarudi, Subarudi |
---|---|
Other Authors: | Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan |
Format: | Article info eJournal |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/667 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/667/652 |
Daftar Isi:
- Existency of customary law people (MHA) has been marginalized under the state authority. However, this authority ends through Constitutional Court (MK) decision No. 35/2012 that stated customary forest (CF) is not under the state forest. This paper is to review CF at post MK decision with objectives: 1) to give definition of customary people (MA) and MHA; 2) to identify regulations related to CF management; 3) to asess the impact of MK decision on the revision of Forestry Law No. 41/1999 and 4) to formulate strategies for future CF management. This review used political economy approach and qualitative descriptive analysis. Result of the review indicated that there is no different between the term of MA and MHA due to their same definition. Eight laws involved in definition and rights of MHA, however, their contents and implementation are different depending on sectoral perceptions. The MK Decree No. 35 has significant impact on forest management with the exlusion of CF from the state forest and not included in the (private) right forest. A strategy for future CF management is the full joint commitment among governments, NGOs and MHA itself related to MHA determination, territorial boundary of CF and establishment of customary institutional system.
- Keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) sudah sejak lama termarginalisasikan di bawah kekuasaan negara. Semua itu berakhir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara. Tulisan ini mengkaji pengelolaan hutan adat (PHA) pasca Putusan MK No. 35 dengan tujuan: 1) memberi pengertian terkait masyarakat adat dan MHA; 2) mengidentifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan PHA; 3) menganalisis dampak putusan MK terhadap perubahan UU No. 41/1999 dan 4) menyusun strategi PHA ke depan. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik dan analisis datanya menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara istilah masyarakat adat dan MHA karena kedua definisi tersebut pada prinsipnya sama. Ada sekitar delapan jenis UU yang terkait dengan pengertian dan hak MHA, namun substansi dan penerapannya sangat tergantung pada persepsi masing-masing sektor. Putusan MK No. 35 mempunyai dampak signifikan dalam pengelolaan hutan dengan dikeluarkannya hutan adat dari kawasan negara dan juga tidak termasuk ke dalam kategori hutan hak. Strategi penting dalam PHA ke depan adalah adanya kesepakatan bersama antara pemerintah, LSM dan masyarakat adat terkait dengan penetapan MHA, penetapan tata batas hutan adat, dan pembentukan kelembagaan masyarakat adat.