STUDY OF LAND TENURE POLICY IN FOREST MANAGEMENT UNIT (FMU) IN SOUTH LAMPUNG REGENCY
Main Authors: | Sylviani, Sylviani, Dwiprabowo, Haryatno, Suryandari, Elvida Yosefi |
---|---|
Format: | Article info eJournal |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
, 2015
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/656 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/656/641 |
Daftar Isi:
- Forest management could not be separated from problems or land conflicts. Factors affecting land conflicts are economic, social, ecological and different agricultural needs. Several forms of land conflicts are overlapping land use and land ownership conflict. Social conflicts may occur between the settlers and the natives. These all are the obstacles in the development of Forest Management Unit (FMU). This study aimed to identify the parties and land claims in the form of land management, identify institutional and tenure rules in the FMU and policy recommendations. The study was conducted by the method of Rapid Land Tenure Assessment (RATA), to assess, analyze, understand, and describe briefly the problem and/or conflict of complex land tenure system. The result showed that the problem of tenure in the FMU in South Lampung Regency happened because forest area have been occupied by residential, public/social and modern market in the definitive village. The role of the parties/actors in land tenure in the FMU is crucial. The central government issued the policy but did not do evaluation, especially the area boundaries and inactive permits. While the local government issued a regulation of definitive village formation and publishes an annual tax return for the land which is then use as legal tenant claims. In institutions, there is no coordination between the Ministry of Forestry (the ruler's) with stakeholders in local government in the issuance of land certificates. Suggested policies are to accommodate the needs of local communities. One approach that can be taken by the Ministry of Forestry is by making the cultivated forest land to become the HTR program, HKm or Village Forest and resetting forest area boundaries.
- Dalam pengelolaan kawasan hutan tidak terlepas dari adanya persoalan-persoalan atau konflik lahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi konflik lahan antara lain ekonomi, sosial, ekologi dan kebutuhan lahan pertanian. Beberapa bentuk konflik lahan antara lain tumpang tindih penggunaan lahan dan sengketa kepemilikan lahan. Di lain pihak, konflik sosial dapat terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pembangunan KPH. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi para pihak serta bentuk klaim lahan dalam pengelolaan lahan, mengidentifikasi kelembagaan dan aturan tenurial di kawasan KPH serta rekomendasi kebijakan. Kajian dilakukan dengan metode Rapid Land Tenure Assessment (RATA) untuk menilai, menganalisis, memahami, dan menjelaskan secara ringkas suatu masalah dan/atau konflik sistem penguasaan tanah yang kompleks. Hasil kajian menunjukkan bahwa masalah tenurial di kawasan KPH Lampung Selatan terjadi dengan telah diokupasinya kawasan hutan oleh pemukiman, fasilitas umum/sosial dan pusat perbelanjaan dalam bentuk desa definitif. Peran para pihak/aktor dalam penguasaan lahan di kawasan KPH sangat menentukan. Pemerintah pusat yang menerbitkan kebijakan tidak melakukan evaluasi terutama dalam tata batas kawasan dan ijin-ijin yang sudah tidak aktif. Sementara pemerintah daerah mengeluarkan Perda pembentukan desa definitif dan menerbitkan SPT pajak tahunan bagi penggarap lahan yang merupakan legal klaim. Dalam kelembagaan, tidak ada koordinasi antara Kementerian Kehutanan (sebagai penguasa kawasan) dengan para pihak di pemerintahan daerah dalam penerbitan sertifikasi tanah. Disarankan adanya kebijakan yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan menjadikan lahan kawasan hutan menjadi lahan garapan dengan program HTR, HKM atau Hutan Desa serta melakukan tata batas ulang kawasan.