Perception of Customary Law Communities on the Existence of Forest in Kasepuhan Karang and Cisungsang, Lebak Regency, Banten
Main Authors: | Surati, Surati, Sylviani, Sylviani, Sakuntaladewi, Niken, Hidayat, Dian Charity, Ariawan, Kuncoro |
---|---|
Format: | Article info application/pdf eJournal |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
, 2021
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSEK/article/view/6029 http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSEK/article/view/6029/pdf http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSEK/article/downloadSuppFile/6029/878 |
Daftar Isi:
- The existence of customary territories, which are generally located in forest areas, create a separate conflict. One solution is the granting of customary forest management rights to customary law communities (CLC), and there are common understanding and perception between community and forest area managers. The study aims to understand perceptions of CLC about their needs and interests in forests. The research was conducted in Kasepuhan Karang and Cisungsang. Research method is descriptive qualitative. Data processing was done in a tabulated form and analyzed descriptively. The results showed that the perceptions of CLC Kasepuhan Karang and Cisungsang on customary forest management in terms of social, economic, and ecological aspects were generally positive, and that the condition of the Kasepuhan Karang forest is better. It was found that the ranges from social aspects are 45%-95%, economic aspects are 39%-100%, and ecological aspects are75%-100%. They depend on the forest as a source of life, medicines, and handicraft materials. Forests are also a place for customary rituals, a source of food, a source of water that is preserved and passed down from generation to generation. Customary institutions need to be strengthened with the active participation of traditional elders or the younger generation, so that future generations understand and inherit customary culture values.
- Wilayah adat yang umumnya berada di kawasan hutan, menimbulkan konflik tersendiri. Salah satu penyelesaian konflik kawasan hutan tersebut adalah pemberian hak kelola hutan adat kepada masyarakat hukum adat (MHA) serta adanya pemahaman dan persepsi yang sama antara masyarakat dengan pengelola kawasan hutan. Penelitian bertujuan untuk memahami persepsi MHA mengenai kebutuhan dan kepentingan mereka pada hutan. Penelitian dilakukan di Kasepuhan Karang dan Cisungsang, Banten. Metode penelitian secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan data dilakukan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara desikriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi MHA Kasepuhan Karang dan Cisungsang terhadap pengelolaan hutan adat ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi umumnya positif tetapi kondisi hutan Kasepuhan Karang lebih baik. Dari aspek sosial berkisar antara 45%-95%, aspek ekonomi dengan kisaran 39%-100%, dan aspek ekologi berkisar 75% - 100%. MHA Kasepuhan Karang dan Cisungsang memiliki hubungan yang jelas antara tanah yang menjadi sumber kehidupan dengan alam sekitarnya. Mereka bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan, obat-obatan, dan bahan kerajinan tangan. Hutan juga menjadi tempat pelaksanaan ritual adat, sumber pangan, sumber mata air yang dipertahankan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kelembagaan adat perlu diperkuat dengan partisipasi aktif dari tetua adat ataupun generasi muda agar generasi penerus memahami dan mewarisi nilai budaya adat.