Daftar Isi:
  • Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan, “Siapa yang berhak menjadi wali perkawinan bagi anak angkat?” Persoalan ini penting mengingat adanya perbedaan pandangan antara hukum Islam (fiqh) dan hukum perdata. Perbedaan ini kerapkali menimbulkan kebingungan di masyarakat. Pengangkatan anak sendiri biasanya berangkat dari persoalan satu ke persoalan yang lain. Kerumitan perwalian perkawinannya kemudian tidak bisa dihindari, apalagi jika ditinjau dari perspektif dua sistem hukum tersebut. Hukum Islam secara tegas menafikan konsepsi anak angkat berdasar QS. Al-Ahzab [33]: 4 dan 5. Status anak angkat tetaplah anak ayah kandungnya. Akibatnya, hukum dan pengaturan perwalian perkawinan anak angkat tetap mengikuti nasabnya, bukan orang tua angkatnya. Wali perkawinan adalah ayah kandung atau saudara laki-laki dari jalur ayah (patrilinear). Perwalian perkawinan hanya diperuntukkan bagi mempelai perempuan. Sedangkan hukum perdata membenarkan konsepsi anak angkat. Mengenai perwalian perkawinan anak angkat, hukum perdata mengaturnya dalam pasal 331 KUHPerdata, Staatsblad 1917 No. 129, SEMA No. 2 Tahun 1979, dan SEMA No. 6 Tahun 1983. Setelah adanya pengangkatan anak, ada akibat hukum yang ditimbulkan, yakni dalam hal perwalian dan pewarisan. Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkatnya. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung berpindah kepada orang tua angkat, kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam.