PERTUNJUKAN WAYANG KULIT PURWA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK DI INDONESIA
Main Author: | Nugroho, Sugeng |
---|---|
Format: | BookSection PeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
ISI Press
, 2018
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.isi-ska.ac.id/4719/1/Potret%20Seni%20Pertunjukan%20Kita-Pak%20Sugeng.pdf http://repository.isi-ska.ac.id/4719/ http://repository.isi-ska.ac.id |
Daftar Isi:
- Dalam tulisan ini yaitu tentang seni pertunjukan wayang Dr. Sugeng Nugroho, yang mengkaji pertunjukan wayang dalam konteks kehidupan sosial-politik. Ia mengatakan bahwa kehadiran pertunjukan wayang di tengah masyarakat itu tidak terbebas dari sistem yang berlaku dalam masyarakat, seperti sistem kekuasaan, sistem kepercayaan, sistem sosial, dan lainnya. Dalang mau tidak mau harus menyesuaikan degan sistem yang berlaku itu. Dalam artikelnya, Dr. Sugeng Nugroho membeberkan gambaran tentang pertunjukan wayang kulit dari masa ke masa, untuk menjelaskan sikap dan perilaku para dalang dalam merespon dunia kehidupan sosial, budaya, dan politik pada masanya. Pertunjukan wayang dari masa ke masa selalu mengalami perubahan fungsi. Pada masa kehidupan kebudayaan Hindu (abad I–XIV), pertunjukan wayang berfungsi sebagai sarana peribadatan. Pada masa perkembangan kebudayaan Islam (abad XV–XVI), pertunjukan wayang digunakan untuk syiar dan dakwah agama Islam. Pada masa feodal (abad XVIII–XX), pertunjukan wayang dikukuhkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan rajaraja dinasti Mataram. Pada zaman Orde Lama (1945–1965), pertunjukan wayang sering dipakai sebagai media propaganda partai politik, baik PNI dengan LKN-nya maupun PKI dengan Lekra-nya. Pada zaman Orde Baru (1969–1998), pertunjukan wayang digunakan sebagai sarana penyampaian gagasangagasan pembangunan ekonomi dan program-program pemerintah. Setelah masa Reformasi (1999–sekarang), pertunjukan wayang tidak memiliki arah yang jelas, kecuali hanya sebagai hiburan semata. Pertunjukan wayang sebagai ‘media politik’ merupakan ‘senjata ampuh’ untuk melumpuhkan siapa pun yang menjadi lawan politik. Meskipun demikian, sesuai dengan fungsinya sebagai ‘senjata’, juga sangat bergantung pada siapa pemakainya, karena keampuhan ‘senjata’ harus pula disertai oleh keampuhan pemakainya. Jika pemakainya adalah orang yang bijaksana, terlebih mempunyai otoritas dan menguasai strategi ‘berperang’, maka ‘senjata’ itu dapat digunakan untuk ‘membunuh’ lawan-lawan politiknya. Sebaliknya jika pemakainya tidak memiliki kebijaksanaan, terlebih tidak mempunyai otoritas, maka ‘senjata’ itu justru dapat berbalik arah menikam diri si pemakai.