Pemanfaatan ampok jagung termodifikasi sebagai expanded food product

Main Author: Tarigan, Adrian Dharma P
Other Authors: Iskandar, Ade, Sunarti, Titi Candra
Terbitan: IPB (Bogor Agricultural University) , 2011
Subjects:
Online Access: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48174
Daftar Isi:
  • Produksi jagung pipil di Indonesia dari proses penggilingan kering mencapai 18.36 juta ton pada tahun 2010. Diperoleh hasil samping berupa ampok (germ, tip cap, dan endosperma) sebanyak 35% dari proses penggilingan tersebut. Ampok terdiri dari bagian-bagian yang tidak lolos ayakan karena struktur morfologinya yang didominasi oleh serat (25,5%). Selain serat, ampok juga terdiri atas pati (56,7%), protein (11,1%) dan sedikit lemak (5,3%) (Larson, 1993). Ampok merupakan sumber energi yang baik namun karena pati ampok tergolong dalam resistant starch tipe I dimana struktur patinya terperangkap dalam selubung kompleks yang mengakibatkan pati sulit dicerna manusia. Proses modifikasi secara enzimatis menggunakan enzim selulase dan xilanase serta modifikasi fisik menggunakan drum dryer dapat memperbaiki struktur pati ampok dan meningkatkan daya cerna ampok. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaaatkan ampok termodifikasi menjadi produk pangan olahan (expanded food product) dalam bentuk wafer dan mengetahui sifat fisik dan kimia wafer serta penerimaan konsumen terhadap wafer. Ampok termodifikasi merupakan bahan baku pembuatan expanded food. Wafer dibuat dengan campuran ampok termodifikasi dengan tepung terigu dengan perbandingan 1 : 1 dan 1 : 3. Adonan yang dihasilkan dipanggang dengan alat AIGLE TH-L27 selama 4 menit. Wafer ampok yang diproduksi diuji berdasarkan tekstur (kerenyahan dan kekuatan), kandungan proksimat, dan uji organoleptik. Proses modifikasi ampok memberikan perubahan terhadap kandungan komponen proksimat ampok. Kadar protein dan kadar pati ampok meningkat secara signifikan. Kadar protein meningkat dari 10,32%(bk) menjadi 11,32% (bk) (A3; inkubasi 3jam dan pragelatinisasi ω = 4 rpm). Peningkatan kadar pati tertinggi diperoleh dari perlakuan A5 (inkubasi 6 jam dan pregelatinasi ω = 4 rpm) sebesar 76,45%. Kadar serat ampok berkurang secara signifikan. Nilai kadar serat terendah adalah hasil perlakuan A1 (inkubasi 0 jam, pragelatinasi ω = 4rpm) sebesar 3,68% (bk). Kerenyahan tertinggi diperoleh dari wafer ampok perlakuan A5C1 sebesar 11,98 x 10-4/gf sementara nilai kerenyahan terendah diperoleh dari wafer A6C2 sebesar 45,31 x 10-4/gf. Nilai kerenyahan wafer ampok dipengaruhi oleh formula ampok termodifikasi yang ditambahkan ke dalam adonan. Nilai kekerasan wafer tertinggi diperoleh dari wafer dengan perlakuan A6C2 sebesar 1909,76 gf, sementara nilai kekerasan terkecil diperoleh dari perlakuan A1C2 sebesar 980, 71 gf. Kekerasan ampok dipengaruhi oleh jenis ampok. Nilai kerenyahan dan kekerasan tekstur wafer ampok dibandingkan dengan produk komersil wafer cone merek D. Nilai kerenyahan dan kekerasan wafer ampok lebih tinggi daripada produk komersil. Kandungan komponen proksimat beberapa jenis wafer tidak sesuai dengan standar SNI 01-2973-1992 tentang mutu biskuit. Kadar air wafer berada antara 3,68% - 7,34% (bk). Kadar abu wafer relatif tinggi antara 2,56% - 3,29%(bk). Kadar protein dan kadar lemak wafer ampok memenuhi SNI biskuit. Kadar protein berada antara 9,91% - 11,33% (bk). Kadar lemak wafer berada antara 19,63% (bk) - 21,86% (bk). Kadar serat wafer ampok tergolong tinggi yakni 11,60% (bk) hingga 17,96% (bk). Sementara kadar karbohidrat tergolong rendah yakni 44,51% (bk) hingga 51,37% (bk). Uji organoletik menunjukkan penerimaan panelis terhadap produk wafer ampok. Secara umum, penerimaan panelis terhadap wafer ampok berada pada kisaran netral. Wafer yang paling disukai berasal dari formula C1 (25% ampok), sementara wafer formula C2 (50% ampok) kurang diminati. Kadar ampok yang ditambahkan mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap wafer.