Belajar dari Tradisi Memulang Sarak pada Masyarakat Sasak di Desa Sokong Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara

Main Author: Inayati Ika Nafika; Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Dra. Hj. Siti Malikhah Thowaf, Ph.D. (II) Drs. Joko Sayono, M.Pd, M.Hum.
Format: PeerReviewed eJournal
Bahasa: eng
Terbitan: , 2009
Online Access: http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/814
Daftar Isi:
  • Salah satu peralihan yang dianggap penting oleh setiap masyarakat adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Sasak karena bagi masyarakat Sasak kedudukan atau arti perkawinan dapat meningkatkan ‘harga diri’ seorang individu jika sudah menempuh perkawinan. Dalam hal ini semakin sering seseorang menikah, maka mendapatkan kebanggaan tersendiri bagi orang tersebut karena dianggap bisa ‘menaklukkan’ lawan jenisnya terutama bagi kaum laki­laki. Dalam masyarakat Sasak di Desa Sokong kawin cerai atau memulang sarak bukan merupakan hal tabu, baik untuk laki­laki maupun perempuan. Kata kunci: memulang, sarak, masyarakat Desa Sokong Salah satu peralihan yang dianggap penting oleh setiap masyarakat adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Perkawinan bagi masyarakat Sasak merupakan pintu simbolik bagi masuknya laki­laki dan perempuan untuk diakui sebagai anggota masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, seseorang akan diakui sebagai anggota masyarakat jika ia sudah menikah. Sebenarnya untuk membangun rumah tangga dibutuhkan kesiapan mental yang cukup agar bisa mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh dengan masalah hidup. Dalam hal ini, jika rumah tangga pasangan suami isteri sedang mengalami permasalahan yang cukup besar dapat diselesaikan dengan cara yang baik dan langkah perceraian tidak langsung ditempuh oleh kedua belah pihak. Faktor­faktor yang dapat menyebabkan adanya perceraian adalah kondisi ekonomi keluarga. Dalam hal ini tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.2 Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi pemicu adanya perceraian, karena pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam memecahkan masalah yang terdapat dalam lingkungan yang penuh dengan tantangan kehidupan (Bahar, 1989: 93).