Daftar Isi:
  • Kemampuan berbicara sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagian besar aktivitas kehidupan manusia membutuhkan dukungan kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara telah diajarkan sejak siswa duduk di kelas I melalui pembelajaran keterampilan berbicara. Ketika siswa duduk di kelas IV, seharusnya siswa telah terampil berbicara. Namun, siswa di kelas IV SD Negeri 5 Mataram keterampilan berbicaranya masih sangat rendah. Sangat sulit menemukan siswa yang dapat mewakili sekolah dalam lomba berpidato. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara, siswa kelas IVB SD Negeri 5 Mataram semester 1 yang mencapai SKBM 70 hanya 10 orang dari 37 siswa. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan penelitian tindakan kelas dengan penggunaan strategi pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Pembelajaran keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan ini terdiri atas tiga tahap, yaitu (1) mendengarkan model berbicara, (2) menganalisis model berbicara, dan (3) latihan berbicara. Alasan pemilihan strategi pemodelan ini, antara lain (1) secara teori dan berdasarkan pengalaman para peneliti terdahulu, strategi ini terbukti dapat meningkatkan keterampilan berbahasa siswa; (2) sampai saat penelitian ini dilaksanakan, belum ditemukan penggunaan strategi pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa; dan (3) di lembaga-lembaga pendidikan nonformal seperti pesantren, yang cenderung menggunakan strategi pemodelan sering melahirkan pembicara yang baik. Masalah penelitian meliputi: (1) bagaimana tindakan dan hasil peningkatan keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan pada siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap mendengarkan model berbicara; (2) bagaimana tindakan dan hasil peningkatan keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan pada siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap menganalisis model berbicara; dan (3) bagaimana tindakan dan hasil peningkatan keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan pada siswa kelas IV SD Negeri 5 Mataram pada tahap latihan berbicara. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif. Adapun jenis penelitiannya adalah penelitian tindakan kelas. Dalam pelaksanaannya, tindakan diberikan kepada semua siswa, tetapi, hasil yang dianalisis dikhususkan pada delapan siswa kelas IVB SD Negeri 5 Mataram yang dijadikan fokus penelitian. Instrumen utama pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti dibantu guru sebagai kolaborator. Dalam pengumpulan data, peneliti dan guru dilengkapi instrumen pendukung berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, catatan lapangan, dan tes berbicara. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi tiga hal. Pertama, pada tahap mendengarkan model berbicara, guru dapat melaksanakan semua rancangan tindakan dengan baik. Pada setiap siklus kemunculan tindakan guru mencapai 100%, tetapi terdapat sejumlah indikator tindakan yang tidak semua siswa melakukannya. Pada tahap ini, respons yang mengalami peningkatan adalah kegiatan mengungkapkan pengetahuan atau pengalaman siswa terkait dengan model berbicara yang telah ditampilkan guru dan siswa senang dan termotivasi untuk mengungkapkan pemahaman, pengetahuan, atau pengalamannya. Rerata respons siswa adalah 75% pada siklus I, 87,5% pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 89,5%. Kedua, pada tahap menganalisis model berbicara diketahui bahwa peningkatan terjadi pada tindakan menandai tempat terjadinya perubahan intonasi, pelafalan, dan kata-kata yang disertai gerakan (gesture), menyebutkan perubahan intonasi, pelafalan, dan kata atau kalimat yang disertai gerakan, dan mengungkapkan pengetahuan atau pemahamannya dari kegiatan menganalisis model berbicara. Adapun rerata kemunculan tindakan siswa adalah 72,8% pada siklus I, 91,2% siklus II, dan menjadi 93% pada siklus III. Ketiga, pada tahap latihan berbicara ditemukan bahwa peningkatan terjadi pada tindakan mengungkapkan kembali kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada saat latihan berbicara, berlatih berbicara secara sungguh-sungguh dalam kelompok, dan meminta bantuan guru saat kesulitan dalam latihan. Rerata kemunculan tindakan siswa tahap ini mencapai 64,6% pada siklus I, 74,9% pada siklus II, dan pada siklus III meningkat menjadi 91,5%. Sementara itu, jumlah siswa yang nilai kemampuan berbicaranya lebih besar atau sama dengan 75 sebagai standar kelulusan yang ditetapkan adalah 19 (51,3%) pada siklus I, 28 (75,%) pada siklus II, dan pada siklus III menjadi 31 (83,7%). Dalam hal ini, 4 (50%) siswa terteliti pada siklus I, 7 (87%) pada siklus II, dan menjadi 8 (100%) pada siklus III. Berpijak pada hasil penelitian tersebut, dapat diajukan beberapa saran, yaitu: (1) kepada para kepala sekolah dasar, agar memberikan peluang kepada guru untuk menerapkan pembelajaran keterampilan berbicara dengan strategi pemodelan; (2) kepada para guru sekolah dasar, agar hasil penelitian ini dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran keterampilan berbicara atau dicobakan untuk pembelajaran keterampilan yang lain; dan (3) kepada para peneliti berikutnya, kiranya dapat merancang penelitian baru yang berkaitan dengan penerapan strategi pemodelan dalam pembelajaran keterampilan berbicara atau pembelajaran keterampilan lainnya di sekolah dasar.