Daftar Isi:
  • Momentum meningkatnya gelombang migrasi menuju kawasan Eropa di tahun 2015, membawa respons beragam bagi negara-negara anggota Uni Eropa (UE). Polarisasi atau pembagian kubu terjadi, antara negara yang ingin melakukan sekuritisasi; dengan negara yang mendahulukan kepatuhan nilai humanisme ala UE. Komisi Eropa pun menerapkan skema relokasi kepada 28 negara anggota UE untuk memindahkan sebanyak 120.000 jiwa. Namun, berbagai respons terjadi, mulai dari setuju, menolak, hingga abstain. Bahasan batas negara dan keamanan internal pun menjadi kalkulasi yang muncul dalam isu migrasi. Penelitian membahas bagaimana proses polarisasi pandangan terhadap pengungsi terjadi dan bagaimana pengaruhnya terhadap pemaknaan tentang perbatasan atau border. Melalui penelitian eksplanatif ini, penulis memetakan polarisasi UE dengan indikator recognition rates atau derajat pengakuan; serta persentase terhadap skema relokasi UE. Kubu negara sekuritisasi terjadi karena adanya penaikan isu keamanan melalui speech act dan framing bahwa migrasi adalah ancaman keamanan; konsepsi Fortress Europe; dan pembentukan politics of fear atau rasa takut. Sedangkan, kubu negara humanis memilih patuh karena adanya nilai humanisme UE; perbaikan harmonisasi peraturan CEAS; hingga kebijakan integrasi yang terus dilakukan Parlemen Eropa. Lebih lanjut, keadaan ini memberikan implikasi terhadap pemaknaan border. Dimulai dengan analisis pola kode geopolitik kawasan dan politik skala, penulis menyimpulkan bahwa pemaknaan batas negara saat membahas hal ekonomi, perdagangan dan investasi lebih soft shell atau kulit yang lunak, mudah membukanya; sedangkan, saat membahas mengenai migrasi lebih kepada hard shell atau kulit yang keras, tidak mudah membukanya, kalkulasi kembali dilakukan.