Daftar Isi:
  • Lahirnya gerakan kolektif didorong oleh kompromi kepentingan antar anggota didalam kelompok. Kehadiran PT.Wahyu Daya Mandiri di lahan hutan Desa Solokuro mendapat respon kurang baik dari masyarakat. Masyarakat utamanya penggarap lahan hutan, menolak kehadiran pengembang dengan alasan akan merugikan masyarakat. Alih fungsi lahan hutan yang dilakukan oleh pengembang, telah menggusur masyarakat dari hutan. Kehadiran pengembang, dibarengi dengan larangan kepada masyarakat untuk mengelola lahan hutan. Hal ini menimbulkan banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Hingga lahirlah gerakan kolektif yang di inisiasi oleh pesanggem. Motif keterlibatan masyarakat dalam gerakan kolektif ini tentu untuk dapat kembali mengelola hutan secara legal. Keterlibatan aktor yang tidak terdampak secara langsung dilihat sebagai aktifitas sosial, yang mana aksi kolektif juga menawarkan istilah insentif sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode pengumpulan data observasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui basis rasionalitas keterlibatan individu dalam gerakan kolektif menggunakan teori aksi kolektif Mancur Olson. Untuk meganalisis keterlibatan individu peneliti menggunakan istilah harga dan keuntungan (Cost and Benefits). Gerakan penolakan menjadi semakin massif karena mayoritas masyarakat Desa Solokuro berprofesi sebagai petani, basis identitas yang homogen dapat memudahkan proses konsolidasi. Setelah terjadi penyegelan alat berat milik PT.Wahyu Daya Mandiri dihutan Solokuro, mereka memilih untuk meninggalkan lahan hutan Desa Solokuro. Namun masyarakat belum dapat memanfaatkan lahan hutan secara legal. Hingga diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK. 5923/MENLHKPSKL/ PKPS/PSL.0/6/2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK). Melalui Surat Keputusan tersebut, masyarakat Desa Solokuro dapat kembali mengelola lahan hutan secara legal