Penguatan Keterwakilan Perempuan Dalam Badan Permusyawaratan Desa
Daftar Isi:
- Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat 4 (empat) komponen penting dalam tata pemerintahan desa yaitu Musyawarah Desa, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat Desa. Salah satu lembaga penting di desa adalah BPD yang merupakan lembaga perwakilan di tingkat desa. Unsur keterwakilan dalam BPD adalah keterwakilan perempuan dan keterwakilan wilayah. Konsep keterwakilan perempuan dalam badan perwakilan harus mengakomodasi 2 (dua) konsep representasi, yaitu keterwakilan secara kehadiran (representation in presence) dan keterwakilan secara nilai (representation in ideas). Keterlibatan aktif perempuan pada organisasi-organisasi di Desa seperti LKD, PKK, koperasi, kelompok tani, dan sebagainya menunjukkan bahwa perempuan memegang peran sentral dalam pembangunan di Desa. Oleh karena itu, perempuan memiliki urgensi untuk mendapatkan perwakilan secara proporsional dalam Badan Perwakilan Desa. Naskah Akademik RUU Desa menyebutkan bahwa keterwakilan perempuan dalam BPD harus memuat 30% kuota keterwakilan. Namun pada saat diundangkan tidak terdapat pengaturan mengenai kuota keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, namun pengaturan keterwakilan perempuan justru diatur dalam Peraturan Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa akan tetapi tidak disebutkan 30% kuota perempuan, melainkan keterwakilan perempuan dalam BPD diwakili oleh 1 (satu) orang wakil perempuan. Dalam hal ini keterwakilan perempuan dalam BPD belum mencapai 30% kuota keterwakilan yang dimana anggota dalam BPD adalah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang