Daftar Isi:
  • Berdasarkan hasil analisa, dapat disimpulkan bahwa dari aspek substansi, wewenang, dan prosedur keberadaan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 adalah tidak absah. Dilihat dari ketentuan mengenai substansi, peraturan menteri bersifat beschikking. Bahkan, substansi kewenangan penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan seharusnya tidak diatur oleh Kementerian Hukum dan HAM karena kewenangan tersebut menjadi kewenangan lembaga yudisiil. Mengenai wewenang, syarat mutlak untuk dibentuknya peraturan perundang-undangan adalah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar kewenangan, pada faktanya tidak dipenuhi dalam pembentukan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017. Selanjutnya, mengenai prosedur, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 tidak melakukan perencanaan secara tepat yang berkonsekuensi tahapan selanjutnya dari peraturan tersebut tidak dapat dilakukan. Dalam penulisan skripsi ini, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 diubah dengan Permenkumham Nomor 2 Tahun 2019, namun substansi, wewenang, dan prosedur yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, keberadaan dari Permenkumham Nomor 2 Tahun 2019 juga tidak absah. Akibat hukum yang timbul adalah Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 adalah batal demi hukum karena secara wewenang, substansi, dan prosedur tidak absah. Keberadaan Permenkumham Nomor 2 Tahun 2019 sebagai pengganti sekalipun, memiliki akibat hukum yang sama, yakni batal demi hukum.