Daftar Isi:
  • Aneksasi Krimea yang dilakukan Rusia pada tahun 2014 mendapatkan beragam tanggapan dari dunia internasional. Disebut sebagai pelanggaran hukum internasional, aneksasi tersebut berlanjut hingga tahap referendum dan terbentuknya status baru bagi Krimea. Menanggapi hal ini, Turki memandangnya sebagai aksi yang ilegal dan telah melanggar prinsip-prinsip self-determination. Turki dengan tegas menolak mengakui hasil referendum sepihak yang dilakukan Rusia dan meminta penyelesaian yang demokratis. Penolakan pengakuan serta kecaman terhadap aksi pemerintah Rusia nyatanya berhenti dalam pernyataan itu sendiri. Berbeda dengan negara-negara Barat yang menerapkan sanksi sebagai bentuk protes, Turki justru meningkatkan hubungan kerja sama dengan Rusia. Berdasarkan fenomena tersebut, laporan penelitian ini mendapatkan dua skenario berbeda kebijakan luar negeri Turki yaitu, menolak hasil referendum dan menuntut rekonsiliasi demokratis dan bersamaan dengan itu justru tidak menjatuhkan sanksi melainkan meningkatkan kerja sama dengan Rusia. Ambiguitas tersebut lantas dikaji lebih lanjut dalam kerangka identitas nasional post-strukturalisme melalui struktur lapisan identitas. Peneliti berargumen bahwa kebijakan yang kontradiktif terhadap Rusia disebabkan karena keberadaan dilema identitas dalam tiga identitas berbeda yang membawa gagasan tersendiri tentang kebijakan luar negeri. Perbedaan ini utamanya ditemukan dalam identitas Ottoman dan identitas Barat yang dimiliki Turki. Dengan demikian laporan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh identitas dalam membentuk kebijakan luar negeri, utamanya ketika negara memiliki lebih dari satu identitas.