KARAKTERISTIK PRODUCTION SHARING CONTRACT SETELAH BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

Main Author: DEWI WULAN S. GULTOM, 030610245
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2010
Subjects:
Online Access: http://repository.unair.ac.id/37900/1/gdlhub-gdl-s2-2011-gultomdewi-17538-fh2411-k.pdf
http://repository.unair.ac.id/37900/2/gdlhub-gdl-s2-2011-gultomdewi-14699-fh24110.pdf
http://repository.unair.ac.id/37900/
http://lib.unair.ac.id
Daftar Isi:
  • Sebelum lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka pihak negara yang berhak untuk menjadi partner dalam Production Sharing Contract adalah Pertamina. Namun, dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tersebut maka kedudukan Pertamina berbeda. Sesuai amanah Undang Undang Migas serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002, maka pada tanggal 16 juli 2002 dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas. Sehingga yang berhak melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan kontrak kerjasama atau kontrak bagi hasil yang sebelumnya dilaksanakan oleh PT. Pertamina ( Persero ) kini beralih ke Badan Pelaksana Migas ( BP MIGAS ).Termasuk pula dalam hal ini tentang penandatanganan kontrak Production Sharing yang dilakukan dengan pihak ketiga atau investor asing. Agar kondisi ideal bisa terwujud, maka BP MIGAS harus melakukan pengendalian secara proaktif khususnya sebelum menandarangani Kontrak Kerjasama dengan pihak ketiga dalam kerjasama eksplorasi migas ( kontrak production sharing ) mengingat pentingnya subsektor minyak dan gas bagi penerimaan sumber negara yang maksimal sehingga bermanfaat bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ada 2 permasalahan pokok dalam Kontrak Production Sharing. Permasalahan pertama yaitu Kontrak atau perjanjian dalam konteks Kontrak Production Sharing secara prinsip memberikan sebuah posisi dominan kepada negara untuk merumuskan berbagai kaidah penuntun untuk menjadi kontrak-kontrak yang berciri publik, disamping kaidah yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Perdata. Permasalahan kedua adalah dalam kontrak yang terkait dengan investasi asing di bidang eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, misalnya terdapat Kontrak Production Sharing sebelum Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Kontrak Production Sharing yang dibuat oleh Pertamina, kontrak menjadi tidak seimbang karena beberapa faktor dari pihak Pemerintah Dengan berdirinya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa adanya penetapan cost recovery oleh Pemerintah. Akibat ditetapkan kebijakan pembatasan cost recovery adalah cost recovery yang naik tetapi tingkat produksi minyak dan gas bumi yang turun.