LAPORAN AKHIR PENELITIAN TERAPAN INOVASI ZONASI DAN DELINEASI PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BUDAYA DI KOTA MEDAN
Main Authors: | Damanik, Erond L, Baiduri, Ratih, , Hidayat, Rivai, Muhammad, Berutu, Ebenezer, Nainggolan, Adi Jodi |
---|---|
Format: | Monograph NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
LPPM
, 2022
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://digilib.unimed.ac.id/51809/1/document.pdf http://digilib.unimed.ac.id/51809/2/Report.pdf http://digilib.unimed.ac.id/51809/ |
Daftar Isi:
- Hingga saat ini, belum ada suatu kawasan bersejarah atas urban heritage (warisan perkotaan) di Kota Medan. Kawasan bersejarah (historical area), berdasar Undang�Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah sebuah kawasan yang terdiri atas beberapa bangunan, situs, maupun struktur dalam area yang luas yang dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Kecuali Merdeka Square dimana gedung bersejarah relatif terawat, dilokasi lainnya cenderung terancam musnah. Merdeka Square adalah satu-satunya model revitalisasi kongkrit atas pelestarian warisan perkotaan dimana pemerintah kota melibatkan individu, publik, dan swasta. Revitalisasi mengintegrasikan gedung lama dengan baru, baik dengan fungsi semula atau beralih fungsi. Merdeka Square adalah historic inner-city yang terdiri atas dua area utama; (1) lingkar dalam yang terdiri atas lapangan dan 9 gedung yang berbatasan langsung atau hanya dipisahkan jalan raya, dan (2) lingkar luar yaitu gedung yang terletak pada radius 1 km yang diukur dari ground zero di Merdeka Square. Dibanding lingkar luar, revitalisasi lingkar dalam potensial menjadi infrastructuring pleasure. Di lingkar luar, kecuali dikuasai perusahaan, kecenderungan gedung bersejarah adalah terlantar (displaced). Revitalisasi di lingkar dalam Merdeka Square mendukung kontinuitas historic inner-city dimana warisan perkotaan diintegrasikan dengan gedung baru maupun kuliner. Sementara di lingkar luar, kecenderungan eksistensi gedung bersejarah, tidak luput dari pemusnahan (demolition). Bahkan, tidak sedikit telah hilang dan diganti gedung baru. Sebagian lahan Merdeka Square, guna mendorong infrastructuring pleasure dikemas sebagai Merdeka Walk, pusat permainan dan jajanan popular di intikota yang mengintegrasikan kuliner tradisional dan modern. Merdeka Square dirancang berdasar tatakota modern seperti Eropa yang memadukan lapangan terbuka dengan fasilitas pemerintahan, bisnis, dan jasa. Perpaduan ketiganya di intikota bukan saja memperkuat estetika melainkan ketersediaan kantor untuk layanan publik. Historic inner-city areas, dengan demikian adalah kesatupaduan tatakota modern yang mempertimbangkan layanan publik dan kemudahan akses ke berbagai penjuru kota. Kota, dalam perkembangannya tidak terlepas dari desain, sejarah, dan waktu. Merdeka Square adalah ground zero yang terletak diantara segitiga kantor pos, Hotel De Boer dan Medan Town Hall yang ditandai dengan monumen Nienhuys, pelopor budidaya tembakau di Medan. Merdeka Square adalah intikota, zona paling bernilai sejarah yang kemunculannya sejajar dengan kesuksesan perkebunan kolonial pada 1863 dan eksplorasi minyak bumi pada 1885. Merdeka Square berlokasi di pertemuan dua sungai yang membelah Kota Medan, Patani dan Babura yang membentuk Sungai Deli dan bermuara di Selat Malaka. Pada era kolonialisme Merdeka Square disebut “Esplanade” dan “Fukuraido” pada era Jepang yang dirancang tahun 1872. Dalam bahasa Indonesia disebut “alun-alun” yang berarti lapangan terbuka umum. Peralihan menjadi Merdeka Square sejalan dengan pengumuman proklamasi di Medan pada 6 Oktober 1945, memorial kemerdekaan atas kolonialisme. Semua gedung yang berdiri berarsitektur art deco, empire, Amsterdam School, dan transisi yang dikuasai pemerintah, individu maupun swasta. Gedung kolonial di Medan adalah mahakarya arsitek internasional seperti G. Bosz, G.H. Mulder, Hans Groenowegen, Simon Snuyf, Ch. M. Boon, Th. Karsten, D. Berendse, J.A. Tingdeman, Th. van Erp, Liem Bwan Tjie, Hulswit Fermont Cuypers, Edward Cuypers, dan P.J.H. Cuypers. Berdasar Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, lebih khusus, Pasal 73 Ayat (3), menggariskan adanya 4 zona; (1) inti, (2) penyangga, (3) pengembangan, dan (4) penunjang. Ketentuan UU ini sejalan dengan pemanfaatan dan pengendalian setiap zona peruntukan menurut UU no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Urgensi dan signifikansi penelitian dimotivasi nihilnya zonasi dan delineasi kawasan pusaka budaya di Kota Medan. Keterancaman bangunan pusaka budaya di penjuru Kota Medan sangat tinggi, sementara belum ada regulasi khusus atas zona berbasis pusaka budaya. Keterancaman bangunan pusaka budaya semakin hari tergerus oleh pembiaran, perubuhan, bahkan pergantian. Kajian ini bermaksud untuk merumuskan dan menetapkan zonasi dan delineasi kawasan pusaka budaya di Kota Medan yang relevan dengan prinsip-prinsip pelestarian berdasar UU. Penelitian dijalankan secara kualitatif dengan metode campuran, pendekatan deskriftif dan research and development (R & D). Keduanya dimaksudkan untuk mengeksplorasi potensi zona dan hambatan pelestarian setiap zona untuk mendukung sustainable mobility khususnya pada urban planning. Guna optimalisasi hasil penelitian, dilakukan kerjasama dengan Beranda Warisan Sumatra (BWS) maupun Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Data-data dikumpulkan melalui penelurusan arsip di KITLV ataupun Troppen Museum Institute yang dapat diakses online. Arsip yang dicari adalah foto-foto objek bangunan, peta kawasan, catatan dalam format laporan maupun koran. Penghimpunan lain dilakukan melalui penelitian lapangan, komunikasi personal, maupun focus group discussion (FGD) melibatkan 20 peserta. Zonasi dan delineasi dilakukan melalui pengukuran di lapangan sekaligus menentukan letak koordinat dan posisi astronomis atas setiap kawasan yang dikonversi ke Google Earth maupun Google Map. Citra satelit dihadirkan dalam format peta kawasan yang tampak di permukaan bumi. Pada setiap kawasan, dicatat detail-detail objek berdasar historis dan kontemporer sekaligus potensi dan hambatan pengembangan. Hasil kajian memenuhi Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT) jenis sosial-humaniora dan pendidikan pada level 7 yakni pemamfaatan inovasi litbang untuk perbaikan kebijakan dan tatakelola. Model atau prototype yang dihasilkan bermanfaat signifikan atas 3 instansi pokok; (1) perencanaan kota berbasis pusaka budaya bagi Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan (TRTB) Kota Medan, (2) dokumen dan konsep pengembangan kawasan pusaka budaya bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, maupun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Medan, serta (3) dokumen penetapan Kawasan Cagar Budaya peringkat kota oleh Ahli Cagar Budaya Kota Medan maupun peringkat provinsi oleh Ahli Cagar Budaya Provinsi Sumatera Utara. Semua manfaat ini, selain tersedianya dokumen terapan atas kawasan pusaka budaya, sekaligus pengembangan ke arah fungsi-fungsi ekonomi, sosial, religius maupun wisata sejarah. Selain model atau prototype, kajian ini menghasilkan artikel jurnal bereputasi terindeks Scopus, Paten, Hak Ciptaan, Nota Kesepakatan Kerjasama (MoA), kesertaan pada pertemuan internasional, dan monograp.