Daftar Isi:
  • Tujuan penelitian mendeskripsikan Keberadaan dan Bentuk Kesenian Angguk pada masyarakat Jawa di Desa Dalu X B Kecamatan Tanjung Morawa. Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data berupa natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data observasi, wawancara dan dokumentasi, narasumber penelitian adalah pemilik sanggar. Untuk menganalisis digunakan teori Sejarah oleh Soedarsono bahwa “periodesasi sejarah seni tari di Indonesia terbagi atas 3 pembabakan zaman”. Pendapat Soedarsono (2002:61) menjadi dasar dalam menganalisis Tari Angguk berdasarkan periodesasinya. Kedua, teori keberadaan menurut Martinus (2001:149) sebagai dasar untuk mengetahui proses adanya Tari Angguk di Desa Dalu X B serta upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Tari Angguk, perkembangan dan kemundurannya hingga keadaan Tari Angguk saat ini ditengah masyarakat, dan bentuk pementasan menurut Soeharto (2003:29) yang membahas mengenai gerak tari, iringan tari, busana dan tatarias dan tempat pertunjukan. Berdasarkan penelitian diketahui : (1) Sejarah Tari Angguk berawal pada saat masyarakat Jawa bertransmigrasi ke Sumatera Utara untuk bekerja di perkebunan Kolonial Belanda, dan tari ini dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Jawa di Sumatera Utara khususnya Desa Dalu X B.; (2) Keberadaan Tari Angguk dibagi atas dua periode yaitu: Periode pertama tahun 1971-1991 dan periode kedua tahun 1991-2021. Tari ini masih terjaga karena adanya kerjasama antara pemilik sanggar, pemerintah setempat dan masyarakat yang dapat dilihat dari ramainya penonton dalam pementasan Angguk di berbagai acara seperti pernikahan dan ulang tahun. (3) Bentuk Pementasan Tari Angguk terdapat 13 judul lagu dalam sekali pementasan dan lagu dibawakan secara sambung-menyambung. Pementasan terdiri atas 3 tahap : Pertama, mempersembahkan Shalawat sebagai ucapan syukur; Kedua, penari membawakan Tari Salam Sembah dan Tari Dengan Hormat sebagai salam pembuka dan diikuti pementasan beberapa tarian; Ketiga, penari membawakan Tari Sembilan Hari Jalan sebagai salam penutup. Musik pengiringnya merupakan lagu dengan judul yang sama dengan Tari Angguk, adapun instrumen yang digunakan seperti, bedug, kendang, dan kerincingan. Tatarias yang digunakan natural karena penari menggunakan kacamata, adapun busana yang dikenakan menyerupai seragam prajurit Belanda.