Permasalahan Pengelolaan Sekolah Minggu Pepanthan-Pepanthan GKJ dan Solusinya
Main Author: | Theresiana, Yenny |
---|---|
Other Authors: | Numahara, Daniel |
Format: | Thesis application/pdf |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Program Studi Teologi FTEO-UKSW
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.uksw.edu/handle/123456789/12253 |
Daftar Isi:
- Tidak diijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas dikarenakan masih ada kekurangan administrasi.
- Pelayanan Sekolah Minggu anak-anak adalah tugas Gereja yang tidak dapat diabaikan, karena masa depan gereja tergantung pada kualitas pembinaan anak-anak gereja masa kini. Jika dipandang dari sudut kepentingan Gereja, melalui Sekolah Minggu anak-anak dapat mendengar Firman Tuhan dan juga mengenal Yesus Kristus dan menerima-Nya sebagai Juru Selamat pribadinya. Sekolah Minggu jelas akan menjadi wadah pembinaan warga jemaat yang baik dan bermutu khususnya untuk usia anak. Umumnya Sekolah Minggu di gereja-gereja dikelola dengan pengelompokkan dalam beberapa kelompok (balita, pratama dan madya). Hal ini dilakukan supaya dalam pengelolaan Sekolah Minggu proses pembelajarannya dapat efektif. Namun hal ini tak bisa dilaksanakan dengan pola seperti itu kalau jemaatnya kecil seperti kasus pepanthan-pepathan GKJ, di mana anak Sekolah Minggu jumlahnya sedikit dan usianya juga bervariasi. Jadi butuh pengelolaan yang berbeda. Tulisan ini mengidentifikasi persoalan sekolah Minggu di Pepanthan GKJ dengan studi kasus GKJ Limpung pepanthan Bawang. Jumlah anak hanya ada 13 orang dengan usia bervariasi mulai balita, madya dan pratama. Masalah yang diidentifikasi adalah, pertama, jumlah anak yang terlalu sedikit dengan usia bervariasi jelas tak memungkinkan pembahagian kelas berdasarkan pedoman normal. Kedua, guru yang tersediapun sangat terbatas. Ketiga, tidak bisa menggunakan kurikulum Sekolah Minggu yang sudah dirancang dengan 3 pengelompokan tersebut. Dari identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis mengusulkan suatu solusi yakni menjadikan sekolah Minggu sebagai wadah ibadah antar generasi pada paruh pertama dari waktu penyelenggaraan sekolah Minggu, dan paruh waktu kedua menjadi wadah pembelajaran di mana anak-anak dikelompokkan berdasarkan usia dengan menggunakan kurikulum sekolah minggu yang tersedia, sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih efektif. Namun untuk itu itu perlu lebih banyak tutor yang menuntun anak-anak mengerjakan aktivitas berdasarkan kurikulum yang tersedia. Sekolah Minggu memang memiliki nilai lebih tersendiri, dan boleh dikatakan merupakan dasar pertumbuhan gereja, bila dikelola secara benar dan bertanggung jawab. Namun perlu diperhatikan bahwa kepribadian seseorang akan lebih mudah dibentuk pada usia yang dini, karena mudah menerima dan percaya terhadap apa yang diajarkan untuk membentuk pertumbuhan spiritual melalui penginjilan. Begitu juga pada dasarnya sekolah minggu harusnya menjadi wadah ibadah dan sekaligus wadah pendidikan, sehingga anak-anak terbiasa dengan ibadah umat dan sekaligus juga belajar mengenai iman Kristianinya.