Sinematek Indonesia, Jangan Sampai Jadi Kuburan Film!

Main Author: Safari Sidakaton
Format: website
Bahasa: ind
Terbitan: Perpustakaan Nasional RI , 2011
Subjects:
Online Access: http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/179
Daftar Isi:
  • Oleh :Safari Sidakaton MAUcari film Indonesia dari pembuatan pertama hingga saat ini? Atau mau tahu skenario-skenario film yang ada di Indonesia? Datang aja ke Sinematek Indonesia (SI) yang terletak di kawasan Pusat Perfileman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta. Di sini, film yang dibuat pertama kali di Indonesia yakni tahun 1926, masih bisu dan hitam putih, ada. Begitupun dengan film bersuara pertama yang muncul 1931 dan film pertama berwarna muncul tahun 1953. Hingga kini jumlahnya mencapai sekitar 2.000copyfilm nasional yang telah di koleksi SI. Lantas, bagaimana keberadaan film-film itu saat ini? Masih layak tayangkah? H Berthy Ibrahim Lindia, Kepala Sinematek Indonesia memberi penjelasan panjang lebar kepadaTNOLsaat ditemui di ruang kerjanya. “Semua film yang menjadi koleksi Sinematek Indonesia harus direstorasi agar bisa dinikmati. Jika tidak maka semua film tersebut hanya tinggal kenangan. Apalagi semuacopyfilm sudah ditetapkan untuk tidak diputar lagi karena jika diputar akan hilang mengingat medianya sudah sangat tipis. Restorasi merupakan cara yang paling berkenan agar film-film itu bisa diputar lagi. Hingga saat ini dari sekian banyak yang dikoleksi Sinematek Indonesia baru dua yang direstorasi sedangkan sepuluh judul lagi baru akan direstorasi. Sungguh, jumlah yang sangat kecil dibanding jumlah film yang kondisinya sudah tak layak diputar lagi. Dua film tersebut adalahTiga Darayang direstorasi di Belanda danLewat Jam Malamyang direstorasi di Italia. “Insya Allah minggu depan atau awal Mei, saya akan bawa 10 film lainnya ke India. Satu dari film ituDi Bawah Lindungan Kabahdan sedangkan sembilan film lainnya yang dibintangi Benyamin S dan Rhoma Irama,” ujar Berty. Dengan restorasi maka semua dokumen atau arsip film bisa dinikmati hingga 50-100 tahun lagi. Dan, restorasi akan terus dilakukan agar generasi mendatang bisa menikmati tayangan tersebut. Restorasi itu sendiri adalah pengalih-mediaan sesuai dengan teknologi yang berkembang saat ini. Dan, restorasi baru dilakukan saat ini, dibawah kepemimpinan Berty. Tanpa Membayar inematek Indonesia sangat dibutuhkan oleh siapapun karena didalamnya terdapat produk budaya bangsa yang harganya tak ternilai. Tak cuma insan film yang memerlukan, tapi juga pelajar maupun mahasiswa sangat membutuhkan. Bahkan, saat ini telah tercatat hampir 1.000 mahasiswa S1 yang melakukan penelitian di sini. Belum lagi mahasiswa S2 atau pascasarjana yang jumlahnya ratusan sedangkan mahasiswa S3 atau doktor mencapai puluhan. Pentingnya Sinematek Indonesia karena keberadaannya bisa menaikan gengsi sineas. Hampir semua sutradara top di Indonesia seperti H Usman Ismail, Syuman Jaya, Teguh Karya dan Chaerul Umam menempatkan dan menyimpan filmnya di Sinematek Indonesia. Oleh karena itu, imej Sinematek Indonesia adalah suatu lembaga dokumentasi atau arsip film yang telah diakui. Apalagi sejak tahun 1977 Sinematek Indonesia telah bergabung dalam FIAF (Federation Internationale des Archives du Film) dan SEAPAVAA (South East Asia-Pacific Audio Visual Archives Ascociation) yang artinya Sinematek Indonesia punya hubungan internasional. Sebagai lembaga non-formil Sinematek Indonesia menyimpan karya-karya anak bangsa ini tanpa memungut bayaran alias gratis. “Yang kita lakukan ini untuk kebanggaan anak cucu kita kelak, setidaknya mereka tahu bahwa kakeknya orang film. Apalagi kalau dia punya Piala Citra,” jelas Berty pula. Kekurangan Biaya Operasional Sayangnya keberadaan Sinematek Indonesia tidak didukung oleh dana yang memadai. Anggaran yang ada tidak sebanding dengan tugasnya merawat berbagai film yang ada. "Bahkan untuk biaya operasional dan gaji karyawan yang berjumlah 18 orang saja sangat jauh dari ideal," jelas Berty. Anggaran yang ada saat ini hanya mampu membayar gaji karyawan yang sebulannya mencapai Rp 24 juta. Biaya operasional merawat 2.000copyfilm Rp 4 juta/bulan. Sementara anggaran yang ideal untuk merawat koleksi Sinematek Indonesia dalam bentuk seluloid sekitar Rp 320 juta/tahun. Jumlah tersebut digunakan untuk membeli zat kimia TCA yang harga per liternya sekitar Rp 110 ribu. Untuk perawatan satu film setiap tahun mencapaii 11⁄2 liter TCA. “Jadi dana yang dibutuhkan sekitar Rp 320 juta. Itu kalau melakukantreatmentsatu tahun sekali. Sementara film itu harus dirawat seperempat atau enam bulan sekali. Artinya dengan hanya Rp 48 juta maka anggaran untuk perawatan film sangat kurang,” jelasnya Anggaran tersebut belum termasuk biaya listrik untuk menghidupkan AC di basement yang mencapai Rp 60 juta/bulan. Biaya fumigasi untuk buku dan majalah sebesar Rp 15 juta/tahun. Biaya perawatan foto dan klise yang mencapai Rp. 12 ribu frame, serta poster film yang mencapai 4 ribu lembar dan perawatan pita negative/kaset Betamax VS, Betacam, V8 yang jumlahnya 40 ribu. H Berthy mengaku, untuk mendapatkan gaji dan perawatan copy film yang layak maka dirinya akan menuntut diantaranya ke pihak yayasan, Menbudpar dan Pemda DKI. Apalagi keberadaan Sinematek Indonesia juga telah mendapat SK Menbudpar pada tahun 2008 sebagai obyek vital nasional. Namun semua pihak yang dihubungi tersebut hingga kini belum ada jawaban. Oleh karena itu untuk menutupi biaya agar Sinematek Indonesia bisa tetap bertahan kelak, harus dibantu oleh berbagai kalangan sineas seperti Mira Lesmana, Reza dan Nia Dinata yang peduli terhadap keberadaan Sinematek Indonesia. “Semoga ada orang yang sepemikiran dan sepemahaman dengan saya agar Sinematek Indonesia tetap ada,” jelasnya. “Saya berharap agar Sinematek Indonesia tidak menjadi kuburan film, untuk itu film-filmnya harus dijaga dengan baik,” tandasnya. Sumber :http://www.sinematekindonesia.com/index.php/artikel/listdata