Makna Gambaran Allah sebagai Laki-laki (Pahlawan Perang) Menuju Perempuan yang Mengerang
Main Author: | ANDREAS KRISTIANTO |
---|---|
Other Authors: | EMMANUEL GERRIT SINGGIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2011
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIDalam buku yang berjudul Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Walter Brueggemann menyatakan bahwa dengan menggunakan kata-kata benda untuk menamakan dan memberi karakter pada Yahweh, Israel mengenakan pada (atau mengakui dalam) Yahweh unsur-unsur konstansi dan substansi, yang atas suatu cara membuat Yahweh dapat dikenal atau tersedia bagi Israel.1 Kesaksian metafora atau gambaran yang diungkapkan oleh umat Israel menjadi sebuah pola tema teologi untuk memberikan karakter kepada Yahweh, tetapi metafor tersebut tidak serta merta menunjukan identitas yang mutlak, melainkan bersifatMisalnya, Allah digambarkan sebagai gembala, Dia juga sekaligus non-gembala, Dlsb. Selain itu, di pihak lain pembicaraan mengenai Allah merupakan cultural creatures, yang artinya: berhubungan dengan nilai-nilai dan perjalanan komunitas iman yang menggunakannya.2 Elizabeth Johnson mengungkapkan bahwa as cultures shift, so too does the specificity of Godtalk.3 Budaya komunitas umat berkaitan erat dengan kekhususan mengenai Allah.Berbicara tentang gambaran Allah berarti berbicara tentang teologi kontekstual. Artinya, teologi yang lahir dari perspektif empiris yang ditemukan di tengah-tengah jemaat dalam pergumulan manusia secara eksistensial, karena teologi bukan hanya berbicara tentang Allah, tetapi yang menjadi sasaran adalah gambaran-gambaran atau model-model mengenai Allah. Berbeda dengan teologi tradisional-formal-normatif yang didominasi oleh rumusan-rumusan proposisional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan konsep gambaran teologis yang ideal, maka tugas yang penting adalah mereparasi lubang-lubang dari penghayatan teologi rakyat atau grassroot jemaat yang mengalami ketimpangan atau berat sebelah, sehingga hal yang dilakukan adalah mempertimbangkan dan mengembangkan teologi jemaat untuk keperluan jemaat atauWalter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Penerbit: Ledalero Maumere, 2009, p. 354 2 Meitha Sartika, Citra Feminis Tentang Allah Dalam Tradisi Perjanjian Lama, dalam Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja, GKI Jawa Barat, Vol. 4 No. 16, 2000, p. 371 3 Elizabeth A. Johnson, She Who Is: The Mystery of God in Feminist Theological Discourse, New York: Crossroad, 1996, p. 61U KDWelastis (lentur), bergeser, dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dari setiap pengalaman umat.gereja.4 Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana me-reinterpretasi teks dalam rangka kajian kontekstual? Selain itu, bagaimana teks tersebut mempengaruhi penafsiran dan perubahan makna bagi pembaca?5 Tentunya, teologi menjadi idea penghayatan iman bagi jemaat dalam mengembangkan dan membangun iman sesuai dengan konteks yang ada dan bukan berfungsi untuk membekukan iman jemaat. Dengan bahasa lain, apakah teologi masih melayani umat ataukah hanya melanggengkan status quo yang ada? Dari sini, tampak bahwa bahasa teologis dan bahasa sehari-hari dijembatani metafora yang di dalamnya pengalaman manusiawi menjadi analog untuk pengalaman religius.6Dalam perkembangan selanjutnya, wacana tema gambaran Allah ini menjadi sebuahwacana teologis, lazimnya kita tergoda untuk memilih salah satu yang kita sukai, membiarkan yang kita pilih itu mendesak keluar yang lain dan membuat yang kita pilih itu menjadi mutlak.7pahlawan dengan menggambarkan sosok dengan kekuatan dahsyat, penjaga moral (Hakim dan Raja). Tentunya, hal ini menjadi keyakinan yang problematis, menimbulkan pandangan yang kontradiktif dan bermakna ambigu di tengah konteks serta setting budaya yang heterogen.8 Biasanya, pandangan gambaran Allah yang berperang menjadi sebuah ideologi agama yang bersifat keras dan menghakimi umat manusia. Ada kompleksitas mengenai interaksi komunikasi di antara teks, zaman penafsir dan pembaca termasuk pengarang sejarah, serta pendengar dikotomi di antara teks dan realitas itu sendiri.9Emanuel Gerrit Singgih, Evaluasi Teologis dan Inovasi Teologis: Suatu Usaha Untuk Menempatkan Teologi Rakyat Sebagai Acuan Utama Teologi Kontekstual di Indonesia, dalam Asnath N. Natar, Cahyana E. Purnama, Karmito (Peny), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, p. 14-25 5 Tordis Borchgrevink & marit Melhus, Text as Reality Reality as Text, dalam Studia Theologica 43, 1989, p. 36 6 Asnath N. Natar, Metafora Ibu-Bapa Bagi Allah Dalam Perspektif Budaya Sumba dalam Asnath N. Natar, Cahyana E. Purnama, Karmito (Peny), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia, p. 104 7 Walter Brueggmann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, p. 356 8 Walter Brueggemann, Revelation And Violence: Study in Contextualization, Wisconsin, Milwaukee: Marquette University Press, 1986, p. 1 9 Elisabeth Schussler fiorenza, Text and Reality Reality as text: The Problem of a Feminist Historical and Social Reconstruction Based on Texts, dalam Studia Theologica 43, 1989, p. 194mengenai sumber sejarah, tradisi dan realitas teks yang kemudian berpengaruh terhadap polaU KDAda kelompok aliran agama tertentu di Indonesia yang mengusung metafora Allah sebagaiWideologi agama untuk mengusung nama Yahweh atau Allah dalam kehidupan umat. DalamSelain itu, di sisi yang lain metafora atau gambaran kelembutan dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah mulai dibangkitkan oleh gerakan feminis. Kelompok feminis ingin mengembangkan metafora Allah sebagai seorang perempuan agar menjadi sebuah kesadaran dan transformasi hidup manusia yang seimbang dengan kaum pria. Dulu, perempuan hanya disimbolkan sebagai makhluk penggoda, tetapi selanjutnya mengalami perubahan di mana terdapat proses yang panjang dalam meruntuhkan pandangan lama kemudian membangun pemahaman baru tentang sosok seorang perempuan. Misalnya, dalam budaya Jawa terdapat ideologi konco wingking dengan sasarannya yaitu perempuan. Konsep ini menempatkan perempuan sebagai pelengkap dari ksatria Jawa dan salah satu cara untuk melucuti kesadaran perempuan. Intinya, perempuan harus diposisikan sebagai bagian pelengkap dan pelayan dari terjadi di Indonesia. Teks-teks agama juga menekankan androsentrisme10 juga beredar dengan begitu kuat, sehingga munculnya persoalan ketidakadilan gender menjadi isu yang semarakdan perempuan untuk mengangkat keberadaan diri.Proses maskulinisasi terhadap teks Alkitab sangat menonjol baik itu dipengaruhi oleh konteks budaya Alkitab itu sendiri maupun oleh konteks pembaca. Selain itu, proses maskulinisasi sudah menjadi sistem patriaki yang kuat dan menjadi corak dalam suatu komunitas masyarakat. Karena patriarki telah menjadi ideologi yang kompleks, baik secara politis maupun berdampak pada perempuan.11 Sistem sosial kekuasaan yang selalu ada di tangan laki-laki dan perempuan hanya berada di bawahnya dan menjadi pola yang berlaku di tengah masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sharon Tiffany bahwa:1210Androsentrisme merupakan pola berpikir dan bertingkah laku yang menganggap bahwa ciri-ciri pria sebagai yang memerintah adalah normatif bagi semua manusia. Laki-laki menjadi manusia yang berada pada tingkat atas, sedangkan perempuan, anak-anak dan pria yang tidak memenuhi standar dipandang sebagai manusia second class. Sehingga internalisasi tentang warga kelas dua menyebabkan perempuan memiliki pandangan inferior, rendah diri, irasional dan tergantung pada laki-laki. Konsep ini melekat dan menjadi frame dalam memahami Allah bagi kehidupan komunitas dan masyarakat. Terlebih lagi Allah dipandang sebagai laki-laki, jantan, kuat dan perkasa dibandingkan dengan perempuan. 11 Sylvia Walby, Patriarchy at Work: Patriarchal and Capitalist Relations in Employment, Minneapolis: University of Minnesota press, 1986, p. 5-15 12 Sharon Tiffany, Women, Power, and the Anthropology of Politics: A Review, dalam International Journal of Womens Studies 2, no. 5, 1997, p. 430-442ekonomis dari perbedaan jenis kelamin, ras, kelas sosial, budaya dan dominasi agama yangU KDantara hubungan laki-laki dan perempuan. Seakan-akan, terjadi pertarungan antara laki-lakiWlaki-laki. Budaya yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan masih banyakThe sense of patriarchy now developed as the archetypal pattern of oppressive governance by men with little regard for the well-being or personal fulfillment of women, for the more significant human values or for the destiny of the earth itself.Sistem ini menyebabkan realitas sistemik yang bersifat menindas dan mendominasi dengan menggunakan bahasa androsentrisme dan pusatnya adalah kepentingan para elit (kyriocentric /master-centered). Tentunya ini menjadi kesadaran yang besar dalam menentukan dan menggali teks Alkitabiah. Penggalian tersebut tidak hanya tertuju pada makna penerima teks, tetapi juga makna pembuat teks. Karena teks merupakan produk dari komunitas, tentunya teks tersebut membutuhkan diskusi untuk menjadi bagian dari komunitas.13 Pandangan dikotomi antara teks dan realitas menyebabkan munculnya paradigma androsentrisme yang menciptakan isu-isu keterpisahan antara lain: teks dari realitas, para ahli dengan warga negara, keingintahuan subjek dari objektifitas, dan semua itu berada di tengah relasi kekuatan politis komunitas masyarakat.14 Dengan demikian teks yang merujuk pada gambaran atau metafora Allah menjadibudaya dan historis.Latar belakang dan wacana teologi berkaitan dengan metafora Allah ini menjadi fokus dan perhatian penulis untuk menyajikan dan menggali teks Alkitab mengenai makna gambaran Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Biasanya, kita menjumpai karakter-karakter Yahweh secara terpisah-pisah dalam kitab Perjanjian Lama, tetapi uniknya gambaran Allah sebagai laki-Hamba Yahweh yang menderita (Yesaya 42:10-17). Perikop ini menunjukkan koherensi antara peran dari Allah sebagai laki-laki dan perempuan. Terlihat dalam ayat 13 dan 14 tertulis:Tuhan keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur, Ia bertempik sorak, ya Ia memekik terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya (ay.13). Aku membisu dari sejak dahulukala, Aku berdiam diri, Aku menahan hati-Ku sekarang aku mau mengerang seperti perempuan yang melahirkan. Aku mau mengah-mengah dan megap-megap (ay.14).15Allah digambarkan sebagai pahlawan yang jantan dan setelah itu Allah digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengerang. Uniknya, kedua gambaran ini terjadi dalam satuWalter Brueggemann, Revelation And Violence: Study in Contextualization, p. 4 Elisabeth Schussler Fiorenza, Womens nature and Scientific Objectivity, dalam Lowe/Hubbard (ed), Womens Nature: Rationalizations of Inequality, New York: pergamon Press, 1981, p. 11-12 15 Teks ini didasarkan pada terjemahan TB LAI14 13laki dan perempuan ini berada dalam perikop dan situasi konteks pembuangan yaitu situasiU KDbahan kajian yang multisistemik dan multikompleks di tengah dunia sosial, politik, ekonomi,Wperikop pasal 42 dengan konteks Hamba Yahweh yang menderita. Tentunya, ini menjadi suatu pola teologis yang menarik untuk dicari dan digali makna yang terkandung di dalamnya. Selain itu, perlu untuk melihat kondisi historis serta sosial budaya yang terjadi dalam Yesaya 42:10-17 ini supaya menemukan pergumulan bangsa Israel dalam mengungkapkan makna gambaran Allah sebagai laki-laki dan perempuan.U KDW