Tinjauan etis teologis terhadap pendeta perempuan berkeluarga di GBKP
Main Author: | SELVINA |
---|---|
Other Authors: | YAHYA WIJAYA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2010
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSITidak dapat dipungkiri bahwa ada begitu banyak tuntutan, tanggungjawab dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pendeta jemaat. Dengan berbagai macam dan ragam tuntutan tanggungjawab profesional, ditambah lagi dengan semangat pelayanan yang tinggi, seringkali para pendeta menghabiskan waktunya di luar rumah dan melakukan pelayanan kepada jemaat. Bahkan ada pendeta yang memiliki komitmen dan terlalu sibuk mengerjakan tugas intelektual kependetaannya, entah dalam pelayanan pastoral atau pembinaan program misi sesuai dengan waktu dan tenaga yang tersedia1. Hal ini tidak mengherankan karena pendeta pada umumnya dikenal sebagai gembala dalam gereja yang dituntut selalu ada bagi jemaatnya. Hal tersebut mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi pendeta jemaat yang single, yang secara sengaja memilih untuk tidak menikah. Tetapi bagi pendeta yang menikah akan memiliki tanggungjawab yang lain, yang sama pentingnya yaitu keluarga. Kedua tanggungjawab ini menuntut perhatian yang sama besarnya.Bagi pendeta laki-laki, tanggungjawab profesional dan tanggungjawab untuk keluarga akan mudah diseimbangkan karena laki-laki sebagai pencari nafkah akan ditopang oleh isterinya yang mengurus rumah tangga. Hal yang dianggap wajar jika laki-laki lebih sibuk di luar rumah. Namun, bagaimana dengan pendeta perempuan, apalagi jika diperhadapkan dengan budaya patriarkhal? Perbedaannya sangat jelas dan akan kita lihat melalui pengalaman para pendeta perempuan di GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Persoalan tersebut penting untuk dibicarakan mengingat semakin meningkatnya jumlah pendeta perempuan di GBKP.1Gaylord Noyce, Tanggungjawab Etis Pelayanan Jemaat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal.176MILIKUKDW