PENDAMPINGAN PASTORAL KELUARGA DI ERA MODERN
Main Author: | LIPTA FEBRIASTUTIE |
---|---|
Other Authors: | HENDRI WIJAYATSIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang Permasalahan Dilihat dari sudut pandang psikologi, pernikahan adalah ikatan resmi antara perempuan dan lakilaki sebagai pasangan suami-isteri, yang mempersatukan kedua pribadi dewasa itu secara menyeluruh. 1 Ikatan resmi pada sebuah pernikahan itu belum tentu menjamin kebahagiaan pasangan suami-isteri. Ikatan resmi itu harus ditopang dan dilengkapi dengan ikatan-ikatan lain, yang menyangkut seluruh kepribadian dari kedua mempelai. Yang dimaksudkan dengan ikatanikatan lain itu adalah hubungan seksual yang serasi, kebersamaan dalam mencari nafkah dan mengatur ekonomi rumah tangga, kebersamaan hidup di bawah satu atap yang disepakati bersama, kesamaan arah dalam mendidik anak-anak, kesetiaan satu terhadap yang lain dalam untung dan malang, dan kesabaran serta kebesaran hati dalam perbedaan-perbedaan dan konflik.Kesatuan dua pribadi melalui berbagai ikatan itu mudah dikatakan, tetapi cukup sulit untuk dilakukan. Sebab masing-masing suami maupun isteri adalah individu dewasa yang memiliki keunikan pribadi. Keunikan itu meluas pada berbagai segi, seperti misalnya keunikan selera, minat, hobby, kebutuhan, keinginan atau cita-cita, wawasan, bahkan juga keyakinan-keyakinan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup berkeluarga merupakan suatu kenyataan yang amat kompleks. Belum lagi jika kenyataan itu dihayati di tengah masyarakat yang makin majemuk dan berubah dengan pesat. Era globalisasilah yang menyebabkan masyarakat kini kian majemuk dan berubah dengan pesat. Loekman Soetrisno menyatakan bahwa era globalisasi adalah era kompetisi. 2 Kompetisi tersebut tidak hanya terjadi pada sektor perdagangan atau ekonomi tetapi juga terjadi pada sektor kebudayaan. Dalam sektor kebudayaan, persaingan terwujud dalam persaingan antara kebudayaan nasional dengan kebudayaan global. Persaingan di antara kedua budaya tersebut1Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, Hakikat Hidup Berkeluarga dalam I. Puja Raharja (red.), Keluarga - Peran dan Tanggung jawabnya di Zaman Modern, Yogyakarta : Panitia Pameran Buku Nasional, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta, 1994, hal. 10. 2 Prof. Dr. Lukman Sutrisno, Arti dan Fungsi Keluarga di Tengah-tengah Budaya Global dalam I. Puja Raharja (red.), Keluarga - Peran dan Tanggung jawabnya di Zaman Modern, Yogyakarta : Panitia Pameran Buku Nasional, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta, 1994, hal. 14.menjadi sangat menarik tetapi sekaligus juga memprihatinkan karena dua hal. Pertama, persaingan itu terjadi dalam kondisi yang timpang. Dalam persaingan, kebudayaan global didukung oleh suatu perangkat teknologi yang sangat canggih dan organisasi yang canggih pula, sementara budaya nasional tidak memiliki dukungan baik dari segi teknologi, dana, maupun organisasi selengkap dan secanggih yang mendukung budaya global. Terdapat sebuah contoh teknologi yang mendukung budaya global. Budaya global didukung oleh suatu teknologi satelit komunikasi yang mampu membantu penyebaran budaya global ke seluruh dunia tanpa batas. Dunia televisi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, tidak ada satu pun yang tidak terbuka bagi siaran-siaran televisi Amerika maupun negara industrial lain yang menyiarkan acara-acara yang berisi nilai-nilai budaya global. Kedua, dalam persaingan yang tidak seimbang tersebut menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa akan tiba saatnya budaya nasional suatu bangsa, khususnya budaya nasional negara-negara yang sedang berkembang, akan tenggelam ditelan gelombang arus budaya global yang mengakibatkan hilangnya jati diri suatu bangsa. Tidak bisa dipungkiri lagi, inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.Dalam konteks persaingan antara budaya nasional dan budaya global inilah peranan keluarga sebagai unit sosial terkecil suatu bangsa menjadi sangat krusial. Keluarga dalam hal ini akan menjadi benteng dari budaya nasional dalam menghadapi gelombang pengaruh budaya global itu. Keluarga sebagai komunitas pendidikan yang utama dan mendasar merupakan sarana yang istimewa bagi penerusan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu seseorang memperoleh identitasnya sendiri. 3 Dengan demikian ketahanan sebuah keluarga harus diusahakan semaksimal mungkin. Sedangkan kenyataan yang terjadi di era globalisasi ini, kehidupan rumah tangga menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah. Ketika pemerintah Indonesia dua puluh lima tahun yang lampau mencanangkan Era Pembangunan 4 bagi bangsa Indonesia, ketika itu pula hidup masyarakat Indonesia mulai dibebani oleh berbagai tuntutan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta rakyat terhadap pembangunan Indonesia tersebut. Era pembangunan itu identik dengan era industrialisasi. Dari segi sosiologi era3 4Maurince Eminyan, SJ, Teologi Keluarga, Cetakan ke-6, Yogyakarta : Kanisius, 2008, hal. 11. Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Cetakan ke-5, Yogyakarta : Kanisius, 2001, hal. 67.industrialisasi adalah era perubahan sosial yang besar-besaran pada masyarakat yang memasuki era itu. 5Perubahan sosial dikatakan besar-besaran karena perubahan yang dibawa oleh industrialisasi akan menyangkut nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Misalnya semangat keakraban atau komunal berubah menjadi semangat individualistik, kebiasaan hidup yang santai berganti dengan kehidupan yang berdasar disiplin waktu, terdapat tuntutan untuk selalu mengikuti trend, sehingga yang pada awalnya bukan kebutuhan pokok akan dipaksakan menjadi kebutuhan pokok. Pada akhirnya banyak orang akan memaksakan kemampuannya untuk memuaskan keinginannya. Dengan demikian pada era ini kebebasan masing-masing individu dijunjung tinggi. Misalnya, perempuan tidak lagi dipingit melainkan bebas untuk mengekspresikan diri dan meraih cita-citanya.Dengan demikian tidak heran jika di era modern ini banyak stasiun televisi yang mempertunjukkan bahwa banyak orang yang tidak peduli dengan ikatan suci di dalam kehidupan pernikahan. Tidak sedikit orang yang menganggap remeh lembaga pernikahan, sehingga perceraian terjadi begitu mudahnya. Rupanya di negara Indonesia budaya kawin-cerai sudah menjadi trend dan tidak lagi membuat para pelakunya merasa malu atau merasa bersalah. Tidak ada lagi ikatan kasih yang mendalam di antara pasangan suami-isteri. Kesetiaan menjadi barang yang mudah luntur. Berbagai alasan dikemukakan agar dapat diajukan ke pengadilan untuk dijadikan dasar gugatan perceraian. Bahkan tidak cocok sedikit saja, sudah cukup untuk dijadikan alasan bercerai.Situasi di atas menunjukkan tantangan pelayanan gereja di Indonesia. Tugas dari gereja adalah memperpanjang Kristus di dalam sejarah dan melanjutkan misi karya penyelamatan Kristus di dalam sejarah ke seluruh dunia. Tugas ini ditujukan kepada semua umat percaya yang telah dibaptis dan keluarga-keluarga Kristiani melalui cara khasnya sendiri diberkati dan disucikan di gereja. 6 Sekarang yang menjadi pertanyaannya, selama ini apa yang sudah dibuat oleh gereja dalam rangka membantu keluarga untuk memenuhi tugasnya tersebut?5 6Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, hal. 78. Maurince Eminyan, SJ, Teologi Keluarga, hal. 207.Tindakan yang selama ini dilakukan oleh gereja dalam rangka membantu keluarga untuk memenuhi tugasnya tersebut, gereja mengharuskan bagi setiap pasangan yang akan menikah untuk terlebih dahulu mengikuti katekisasi pra-nikah. Katekisasi pra-nikah yang di dalamnya, setiap pasangan akan memperoleh gambaran dan pengetahuan akan kehidupan berumah tangga. Sejauh pengamatan penyusun, selama ini banyak gereja yang menghentikan upaya pembekalannya kepada pasangan yang akan menikah pada saat menjelang pemberkatan nikah. Pemberkatan nikah dianggap sebagai puncak pelayanan gereja untuk mempersiapkan warga jemaatnya dalam mengarungi kehidupan rumah tangga.Sesudah pemberkatan nikah, gereja menyediakan waktu kepada pasangan suami-isteri untuk melakukan konseling dengan Pendeta. Artinya gereja memberikan kebebasan bagi setiap pasangan untuk melakukan konseling, tidak melakukan konseling pun juga tidak menjadi masalah. Dalam hal ini, gereja sepenuhnya mempercayakan kehidupan rumah tangga kepada pasangan masing-masing. Selanjutnya jika diperlukan dan waktu memberikan kesempatan maka gereja mengadakan retreat bagi pasangan suami-isteri, dalam rangka memberikan pembinaan serta sharing tentang hidup berkeluarga. Pasangan suami-isteri hanya mendapatkan pembinaan keluarga dari khotbah-khotbah, Kebaktian Rumah Tangga (KRW), dan Pemahaman Alkitab. Hal itu pun lebih menyangkut pada pemeliharaan iman masing-masing individu. Selebihnya, pasangan suami-isteri jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan pendampingan secara berkesinambungan dari gereja.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gereja belum menjawab kebutuhan keluarga secara menyeluruh. Sedangkan keluarga dalam persekutuan dengan gereja, juga mengambil bagian dalam pengalaman peziarahan di dunia ini menuju penyingkapan dan penampakan sepenuhnya Kerajaan Allah. Oleh karenanya, harus ditekankan bahwa upaya pendampingan pastoral gereja untuk mendukung keluarga sungguh mendesak. Istilah pendampingan pastoral adalah mencakup banyak hal dan bersifat inklusif terhadap semua pekerjaan pastoral yang menekankan pada mendukung dan memelihara seorang manusia serta relasinya bersifat interpersonal. 7 Gereja7Rodney J. Hunter, Pastoral Care and Counseling (Comparative Terminology) dalam Rodney J. Hunter, Dictionary of Pastoral Care and Counseling, Nashville : Abingdon Press, 1990, hal. 845.idealnya memberikan firman kebenaran, kebaikan, pengertian, pengharapan, dan simpati yang mendalam terhadap dinamika kehidupan berkeluarga.