KEKERASAN ATAS NAMA PEREMPUAN (Hermeneutik Feminis atas Kejadian 34:1-31)

Main Author: RANI SUKMAWATI
Other Authors: ROBERT SETIO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUAN1.LATAR BELAKANG MASALAHPada saat ini, tema kekerasan sepertinya sudah menjadi suatu hal yang biasa dalam masyarakat. Banyak sekali kasus kekerasan yang terjadi dan kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan. Misalnya saja kasus pembunuhan dan penganiayaan TKW di luar negri, pemerkosaan, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan pelecehan seksual (menggoda, menyentuh tubuh atau berkata-kata tidak senonoh pada perempuan). Hal ini menjadikan kekerasan atas perempuan dianggap sebagai hal yang sepele karena perempuan dianggap sosok yang lemah dan mudah diperdaya. Sehingga perempuan, baik sebagai subyek atau obyek dalam kekerasan, selalu menjadi pihak yang dirugikan.Hal ini juga terdapat dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Lama. Banyak sekali kasus kekerasan yang melibatkan perempuan tetapi kurang diperhatikan oleh ahli tafsir. Menurut Schussler Fiorenza, hal ini dipengaruhi oleh budaya patriarkhal Alkitab. Dia mengatakan:The Bible is not only written in the words of men but also serves to legitimate patriarchal power and oppression insofar as it renders God male and determines ultimate reality in male terms, which make women invisible or marginal.1Sehingga cerita tentang perempuan dalam Alkitab dapat dikatakan memang dianggap tidak berharga dan perempuan diposisikan dalam keadaan diam atau tidak bersuara.Budaya Israel adalah budaya patriarkhal yang menganggap bahwa laki-laki adalah penguasa segala sesuatu. Schussler Fiorenza mengatakan:Patriarchy as a male pyramid of graded subordination and exploitations specifies womens oppression in terms of the class, race, country, or religion of the men to whom we belong.Patriarchy defines not just women as the other but also subjugated peoples and races as the other to be dominated. It defines women, moreover, not just as the other of men but also as subordinated to men in power insofar as it conceives of society as analogous to the patriarchal house-hold, which was sustained by slave labor. 2Elizabeth Schussler Fiorenza, Bread not Stone: The Challenge of Feminist Blibical Interpretation, Boston : Beacon Press, 1984, hal xi-5 2 Elizabeth Schussler Fiorenza, Bread not Stone: The Challenge of Feminist Blibical Interpretation, hal xiv11Sehingga perempuan memang diposisikan sebagai sosok yang diam dan tidak boleh bersuara. Sedangkan laki-laki bisa bebas untuk melakukan segala sesuatu. Ester Fuchs mengatakan:Rather, I argue that patriarchy as the fundamental social system of ancient Israel is justified, universalized and naturalized in the blibical text. My contention is that the Bible does not merely project a male consciousness, but that promotes a male-supremacist social and cognitive system. According to this system, man is a more authentic representative of God because God is male, and God is male because the Bible reflects a masculine construction of the divine.3Anggapan bahwa perempuan adalah sosok invisible dan lemah sangat terlihat dalam cerita Dina dan Sikhem (Kejadian 34:1-31). Tafsiran yang ada selama ini menggambarkan bahwa Dina diperkosa Sikhem dan kakak-kakak laki-laki Dina melakukan balas dendam terhadapnya. Budaya patriarkhal terlihat sangat mengagung-agungkan para lelaki dalam cerita ini dan melupakan Dina. Tetapi penyusun berasumsi bahwa Dina tidak diperkosa Sikhem. Justru dialah yang dijadikan alasan kakak-kakak laki-lakinya untuk membunuh Sikhem. Dina dianggap sebagai seorang perempuan yang lemah dan bisa diperalat oleh laki-laki sehingga mereka menjadikannya alasan untuk membunuh Sikhem.Penyusun menganggap bahwa budaya patriarkhal Israel sudah menempatkan perempuan sebagai sosok yang marginal dan tidak berharga dalam masyarakat. Buktinya adalah Dina tidak bersuara dalam cerita ini. Asumsinya adalah budaya patriarkhal memang tidak mengajarkan dan membiasakan perempuan untuk mengatakan pikirannya di depan umum. Cerita Dina dan Sikhem ini merupakan cerita yang jarang diangkat oleh beberapa ahli tafsir. Dan anggapan bahwa Dina memang diperkosa oleh Sikhem seakan-akan sudah membuat perikop ini menjadi tabu untuk dibicarakan. Karena seksualitas seringkali dianggap sesuatu yang personal, yang tidak dibicarakan secara sembarangan. Berkaitan dengan itu, Aquarini mengatakan:Kebudayaan Indonesia secara keseluruhan membangun citra seks dan seksualitas sebagai wacana yang seharusnya sangat personal, yang tidak semestinya dibuka atau dibicarakan di depan umum. Meskipun demikian, wacana seks dan seksualitas selalu dapat melepaskan diri dari kungkungan itu dan menjadi pelbagai produk kebudayaan kita, baik dalam apa yang disebut sebagai kebudayaan tinggi maupun kebudayaan massa/popular. Karya sastra dulu dan kini juga diwarnai oleh gambaran seks dan seksualitas.4Esther Fuchs, Sexual Politics in the Blibical Narative: Reading the Hebrew Bible as a Woman, Inggris : Sheffield Academic Press, 2000, hal 12 4 Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop, Yogyakarta : Jalasutra, 2006, hal 29132Walaupun sepertinya cerita Dina dan Sikhem ini hanya berisikan kisah perkosaan saja, tetapi penyusun merasa bahwa cerita ini juga menjadi contoh ketidakadilan gender perempuan yang terjadi pada saat itu (pada masa Israel). Dimana Dina diposisikan sebagai perempuan yang hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh keluarganya. Ataukah seksualitas Dina yang menjadi masalahnya sehingga cerita ini jarang dibicarakan? Inilah yang menjadikan penyusun tertarik untuk mengangkat cerita Dina dan Sikhem. Tafsiran yang ada selama ini menggambarkan bahwa Dina diperkosa Sikhem. Tetapi penyusun meragukan tafsiran ini dengan asumsi bahwa Dina memang berhubungan seksual dengan Sikhem tetapi tidak ada paksaan. Dan yang sebenarnya melakukan kekerasan adalah kakak-kakak laki-laki Dina, yaitu kekerasan fisik atas Sikhem dan kekerasan psikologis atas Dina. Inilah yang membuat unik cerita Dina dan Sikhem.2.POKOK PERMASALAHANPokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Dina dijadikan alasan untuk suatu kejahatan padahal dia bukanlah alasan sebenarnya mengapa kejahatan tersebut terjadi. Asumsi ini melihat dari cerita Dina dan Sikhem dimana saudara-saudara Dina, Simeon dan Lewi, membunuh Sikhem dengan alasan bahwa Dina sudah diperlakukan sebagai perempuan sundal untuk merampas harta kekayaan Sikhem. Padahal jika kita membaca ayat-ayat sebelumnya dapat diketahui bahwa Sikhem sudah dimaafkan (bandingkan dengan Esau dan Yakub) tetapi masih saja mereka membunuh dan merampas harta Sikhem. Cerita ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar Dina diperkosa atau tidak? Apakah Dina sudah menjadi umpan untuk merampas dan membunuh Sikhem, yang notabene adalah penguasa daerah tersebut? Karena jika kita membaca kisah sebelumnya, Esau dan Yakub, terlihat jelas bagaimana Esau bisa memaafkan Yakub atas kesalahannya dan berakhir dengan damai. Tetapi tidak demikian dengan Sikhem yang walaupun sudah dimaafkan tetap dibunuh.Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan inilah maka penyusun akan mencoba untuk melakukan kajian hermeneutik feminis terhadap teks Kejadian 34:1-31. Karena cerita ini juga mengandung unsur feminis di dalamnya, yaitu kediaman Dina menanggapi kekerasan kakak-kakak lakilakinya. Apakah budaya diam ini direkonstruksi oleh kultur patriarkhal masyarakat Israel? Inilah yang menjadi pokok permasalahan skripsi ini.3