KETIDAKADILAN GENDER MENURUT PEREMPUAN DI DUSUN ULAP-ULAP Sebagai Perempuan dalam Masyarakat Jawa
Main Author: | SEPTIANA SRI WAHYUNI |
---|---|
Other Authors: | J B GIYANA BANAWIRATMA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2009
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Permasalahan Budaya patriarkhi sebagai budaya yang berpusat pada nilai laki-laki merupakan basis bagi suburnya perilaku bias gender. Hal ini seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif dan marginal dan oleh karenanya, perempuan menjadi mudah untuk dikendalikan. Pengendalian tersebut dapat berupa pembatasan ruang sosial, penetapan posisi, dan perilaku. 1Selama ini, pencitraan laki-laki dalam masyarakat adalah sebagai sosok pemimpin atau kepala keluarga. Kita masih terbius dengan nuansa hubungan laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan yang dipimpin, pendominasi dan yang didominasi, pelindung dan yang dilindungi serta serentetan hierarkis lainnya yang menempatkan perempuan dalam posisi ketidak-setaraan. Bahkan pencitraan ini didukung oleh ayat-ayat Alkitab dan seringkali diyakini sebagai legitimasi teologis. Misalnya saja dalam Efesus 5:22 (Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan).Sebagai pemimpin, maka tugas laki-laki ada di publik. Sehingga masyarakat mengkondisikan bahwa dunia domestik diperuntukkan bagi kaum perempuan. Lalu, berkembang anggapan bahwa tugas perempuan hanyalah mengurus rumah tangga dan bekerja di luar rumah.2 Anggapan tersebut berimplikasi kurangnya dorongan bagi keluarga untuk membekali pendidikan anak gadisnya, dengan alasan bahwa perempuan bagaimanapun tinggi pendidikannya pasti akan kembali ke dapur.3 Kemudian asumsi ini dikukuhkan oleh masyarakat. Dan alasan ini pun dijadikan legitimasi bagi masyarakat menengah ke bawah yang merasa kesulitan dalam bidang ekonomi untuk memprioritaskan anak laki-laki mereka dalam pendidikan.Susi E. Yuarsi, Siti R.D, Sofiana, Tembok Tradisi dan Tindak kekerasan Terhadap Perempuan, Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan UGM, Yogyakarta, 2002. 2 St. Sundari Maharto, Perempuan dalam Budaya Jawa, dalam Hj. Bainar, Wacana Perempuan Ke-Indonesiaan da Kemodernan, CIDES, Jakarta, hlm. 194. 3 Baroroh Baried, Konsep Wanita dalam Islam, dalam Wanita Islam Indonesia Kjian Tekstual dan Kontekstual,INIS, Jakarta, 1993, hlm. 41.11Kenyataan tersebut membuat akses sosial dan politik perempuan terputus. Mereka tidak mempunyai kesempatan berinteraksi dengan masyarakatnya. Tiadanya interaksi berakibat pada terhambatnya proses pengembangan diri dan sosial. Secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se"citra" dengan Allah. Namun, tidak bisa dipungkiri, pada kenyataannya, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan gender yang menguasai realitas sosial kultural adalah bukti. Dan pembedaan ini telah merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional, di mana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, di mana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada, terus saja terjadi. Kaum perempuan selama ini memang sering menjadi korban tindak kekerasan tertentu dalam ruang lingkup domestik, seperti misalnya kekerasan yang dilakukan oleh suami, ayah, atau laki-laki dalam keluarganya. Namun seringkali perempuan cenderung untuk menerima ketika dirinya mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari kaum laki-laki. Misalnya, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi ketika seseorang melakukan paksaan (dalam hal ini laki-laki) untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan (perempuan). Namun dari pihak perempuan ini seringkali tidak bisa berbuat apa-apa karena alasan takut ataupun malu untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya.4 Hal tersebut seolah-olah telah mendarah daging. Masyarakat seringkali memposisikan kedudukan perempuan di bawah laki-laki, dan pemahaman ini terpelihara secara turun temurun sehingga menjadi suatu warisan budaya yang rasanya sulit untuk diubah. Warisan budaya yang tanpa melalui proses penyeleksian, tanpa mempertanyakan kebenaran, dengan4Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Jakarta:Depdikbud, 1996), hal 17-18.2kata lain diterima sebagai sesuatu yang benar dan difahami sebagai anjuran dan bimbingan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Praktek adat istiadat dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi budaya patriarkhi yang sangat mengakar dalam masyarakat di semua sektor kehidupan, yaitu politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan moral. Masyarakat Jawa pada kenyataannya masih didominasi oleh sistem patriarkhi yang cenderung meminggirkan posisi perempuan. Di dalam masyarakat Jawa ini perbedaan norma-norma yang diberlakukan bagi laki-laki dan bagi perempuan juga terlihat jelas. Perempuan umumnya memperoleh rambu-rambu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya, kedudukan dan peran laki-laki cenderung lebih dominan, sedangkan kaum perempuan akan semakin miskin dan dirugikan, misalnya dalam hal pekerjaan.5 Perempuan identik dengan pekerjaan rumah (domestik), sedangkan laki-laki identik dengan pekerjaan publik (di luar rumah) sehingga kemampuan untukmengembangkan bakat dan pengetahuan akan di dominasi oleh kaum laki-laki, sementara perempuan yang hanya di rumah akan semakin miskin dan tidak memiliki ruang untuk mengembangkan bakatnya. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara lakilaki dan perempuan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis hendak mengkaji lebih dalam mengenai tanggapan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa di dusun Ulap-ulap, mengenai apakah para perempuan Jawa di Ulap-ulap setuju atau malah tidak setuju terhadap ketidakadilan tersebut.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang penulis angkat dalam skripsi ini, penulis merumuskan pertanyaan sebagai berikut :5Esti Ismawati, Transformasi Perempuan Jawa, Pustaka Cakra, Surakarta, 2005 hal.3431. Bagaimanakah pandangan kaum perempuan di dusun Ulap-ulap saat ini mengenai ketidakadilan gender? Apakah mereka masih berpandangan bahwa kedudukan perempuan ada di bawah bayangan kaum laki-laki? 2. Tinjauan Teologis mana yang dapat mendukung bahwa ketidakadilan gender sudah seharusnya dihilangkan dalam masyarakat? B. JUDUL DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL3.1. Dari uraian latar belakang permasalahan dan rumusan permasalahan di atas, penyusun memberi judul skripsi ini:KETIDAKADILAN GENDER MENURUT PEREMPUAN DI DUSUN ULAP-ULAPSebagai Perempuan Dalam Masyarakat Jawa3.2. Adapun alasan penyusun memilih judul seperti di atas adalah sebagai berikut: 1. Penyusun tertarik pada masalah gender yang muncul dari masyarakat. Karena penyusun melihat realita bahwa kedudukan laki-laki seringkali berada di atas perempuan. 2. Penyusun memilih untuk melakukan pengamatan terhadap perempuan Jawa karena kaum perempuan dalam masyarakat Jawa sering diidentikan sebagai kaum yang harus tunduk pada laki-laki.6 3. Penyusun melakukan penelitian di dusun Ulap-ulap yang letaknya jauh dari pusat kota karena ingin mengetahui apakah perempuan pedesaan Jawa masihmempraktekan budaya tunduk pada laki-laki/ sebagai kanca wingking? C. METODE PENELITIAN Untuk menyusun skripsi, metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif dan kwantitatif. Penulis melakukan pengamatan agar bisa mengetahui konteks masyarakat Ulap-ulap. Total penelitian lapangan secara intensif penulis lakukan selama 5 minggu, yaitu mulai tanggal 10 April 2008 sampai dengan 19 Mei 2008. dalam penelitian ini, ada 3 cara yang penyusun lakukan guna menggali data, yaitu:6Mildred. Wagemann, dkk. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini, (Jakarta : PT Gramedia, 1996), hal. 2184