POLA KEPEMINPINAN PENDETA SEBAGAI "ABAH" DI GERE
Main Author: | SAINS PIETER SURLIA |
---|---|
Other Authors: | CHRISTOPHORUS THOEKOEL HARTONO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2009
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANA. PermasalahanA.1. Latar Belakang Masalah Perbincangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan1 akan tetap menjadi permasalahan yang menarik, serta senantiasa menjadi bahan yang relevan untuk diamati, dikaji dan diberi penilaian. Selama manusia mengenal dan menjalankan suatu organisasi, manusia akan terus berhubungan dengan topik kepemimpinan tersebut, karena berhasil atau tidaknya usaha pencapaian suatu tujuan organisasi, sangat ditentukan oleh kepemimpinan.2 Organisasi yang dimaksud oleh penyusun di sini adalah suatu persekutuan dari sekelompok orang yang bergabung dan mengikatkan diri dalam satu wadah, guna melakukan tugas-tugas tertentu dalam suatu kegiatan kerjasama, dalam usaha mencapai tujuan yang telah digariskan. Di dalam kelompok yang disebut dengan organisasi, dibutuhkan atau terdapat pemimpin, yaitu pribadi tertentu (sekelompok orang) yang ditunjuk sebagai pemimpin untuk menjalankan segala kebijaksanaan organisasi. Di bawah wewenang sang pemimpin (para pemimpin), berbagai kegiatan organisasi diputuskan, dijalankan dan dikontrol.Tema sekitar pemimpin dan kepemimpinan menjadi menarik untuk diamati, dikaji dan diberi penilaian, terlebih apabila manusia menyadari akan dua hal penting yang terkait tentangnya. Pertama, mengenai adanya berbagai model struktur organisasi dan pola kepemimpinan. Kedua, seringnya terjadi penyimpangan dalam sistim kepemimpinan pada suatu organisasi, misalnya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan tersedianya berbagai model struktur organisasi dan pola kepemimpinan, maka setiap organisasi diperhadapkan pada pilihan-pilihan. Apakah organisasi tersebut akan menyerahkan wewenang kepemimpinan di tangan satu orang, atau kepada sekelompok orang? Akankah sebuah organisasi memakai pola kepemimpinan yang bersifat otoriter1Dalam karya tulis Ini, kata kepemimpinan dipakai dalam pengertian, suatu kemampuan dan ketrampilan dari seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin), sehingga mereka berpikir. dan bertindak (bertingkahlaku) sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Band. Sondang P. Siagian, Organisasi. Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1986), p.24. Chris Hartono, Peranan Organisasi Bagi Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), p.22.21atau demokratis ? Dan sederet pertanyaan lain yang senada dapat dikemukakan di sini. Tentunya setiap organisasi akan memilih sesuai dengan corak dari organisasi yang bersangkutan. Misalnya dalam suatu organisasi militer, sudah tentu pola kepemimpinan yang bersifat otoriter yang lebih cocok untuk diterapkan, karena di sana dibutuhkan disiplin dan loyalitas yang tinggi dari bawahan kepada atasannya, dan tidak mengenal kritik terhadap atasan.Mungkin dapat dikatakan bahwa model-model kepemimpinan yang dikenal dewasa ini, tumbuh dan berkembang dari nilai-nilai budaya dan kebutuhan-kebutuhan tertentu, dalam alam situasi dan kondisi tertentu. Salah satu contoh yang nyata adalah, ketika masyarakat menginginkan agar hak suaranya diperhatikan oleh sang pemimpin (para pemimpin), maka di sana muncul model kepemimpinan yang demokratis. Pada waktu sang pemimpin menghendaki pengendalian keamanan dalam wilayah kekuasaannya yang sedang bergolak, maka di sana akan diperkenalkan kepemimpinan yang otoriter, yang tugasnya hanyalah memberi perintah, aturan atau larangan.3Walau berbagai model kepemimpinan telah dikenal atau diperkenalkan kepada dunia, bukan berarti persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan tidak perlu lagi ditinjau dan mendapat koreksi, apabila ternyata dirasakan tidak lagi menjawab tantangan jaman. Bukan pula cerita baru, apabila dikatakan sering dijumpai berbagai praktek penyimpangan yang terjadi dalam diri pemimpin (para pemimpin) ketika ia menjalankan tugasnya (penyalahgunaan wewenang dalam praktek kepemimpinan).Permasalahan yang terjadi di sekitar model struktur organisasi, pola kepemimpinan, dan penyimpangan dalam praktek kepemimpinan, itulah yang menjadikan tema pemimpin dan kepemimpinan tetap menjadi relevan untuk diamat-amati, dikaji dan diberi penilaian setiap saat. Hal itu dilakukan guna mencari dan memberi warna yang sesuai dengan tuntutan jaman, agar dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang.Gemapersoalanpemimpindankepemimpinanyangadadalamtubuhgereja-gerejadi Indonesia, telah dipantau serta dikaji dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI, di mana hasilnya telah disusun dalam bentuk laporan nasional3A.M. Mangunhardjana SJ, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), p.21.2mengenai keadaan seluruh gereja di Indonesia.4 Secara khusus dalam lingkungan Gereja Kristen Pasundan, masalah pemimpin dan kepemimpinan hasil pengamatan Pdt. Koernia Atje Soejana, menunjukkan bahwa mutu kepemimpinan (pejabat gerejani) masih perlu ditingkatkan.5 Bertolak dari hasil kedua penelitian6 tersebut, maka masih relevan apabila karya tulis ini membahas persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan, khususnya di lingkungan GKP.Pemimpin dan pola kepemimpinan yang baik akan mampu menghadapi, menggumuli dan menjawab berbagai tantangan jaman. Itulah alasan mengapa karya tulis ini membahas persoalan di sekitar pemimpin dan kepemimpinan. Hal tersebut memang bukanlah pembahasan yang baru, tetapi pembahasan pemahaman warga jemaat terhadap pemimpin dan pola kepemimpinan dengan memakai pendekatan budaya, nampaknya memberi 'bobot khusus' dari karya ilmiah ini.Pembahasan yang menyinggung pola kepemimpinan abahisme dalam karya tulis ini, mempunyai misi untuk memperkenalkan salah satu model kepemimpinan yang pernah tumbuh dan berkembang, bahkan sampai saat ini masih terasa pengaruhnya terutama pada jemaat pedesaan, bekas pelayanan NZV di wilayah pelayanan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Misi tersebut penting, karena ada kesan negatif dari orang-orang yang tidak mengenal kebudayaan Sunda dan latar belakang historis dari pertumbuhan GKP, apabila pola kepemimpinan abah-isme dibahas. Penyusun berusaha menyoroti pola kepemimpinan abah-isme dengan memperhatikan latar belakang historis dan nilainilai budaya dibaliknya, yang memungkinkan hadir dan berkembangnya pola kepemimpinan tersebut. Kuatnya nilai-nilai budaya yang ada dibalik pola kepemimpinan abah-isme, ditambah dengan latar belakang historis dari GKP, memungkinkan beberapa ciri yang melekat padanya tetap mewarnai pemahaman warga jemaat. Walaupun telah ditawarkan aturan main yang sesuai dengan pemahaman kristiani, namun beberapa ciri yang berkembang dari pola kepemimpinan abah-isme masih tetap di lestarikan oleh warga jemaatLih. F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), p. 442-443. Saat ini DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) telah menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh II. Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Pasundan, (BandungJakarta: Badan Pekerja Sinode GKP - Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1975), p. 283. Menurut penyusun, data-data mengenai pemimpin dan kepemimpinan yang terdapat dalam "Benih Yang Tumbuh II" maupun "Jerih dan Juang" masih belum banyak berubah, terutama pada gereja-gereja di pedesaan.6 5 43