KEPEMIMPINAN DI DALAM TATA GEREJA GKI: DI TINJAU DARI SUDUT PANDANG TEORI PEMBANGUNAN JEMAAT
Main Author: | NOVA PRIHARTONO |
---|---|
Other Authors: | M W WIJANTO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2009
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANA.Latar Belakang Gereja adalah persekutuan orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan diutus untukmenghadirkan Kerajaan Allah di dunia, ini merupakan hakikat gereja. Gereja juga dikenal sebagai suatu organisme yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Gereja sebagai persekutuan sekaligus sebagai suatu organisme pada saat ini merupakan wujud atau hasil perkembangan dari jemaat kristen mula-mula ( Kisah Para Rasul 2:41-47) yang lahir dari sebuah gerakan sosial keagamaan yang dipelopori oleh Yesus1. Dimulai dari gerakan sosial keagamaan hingga kepada sebuah jemaat kristen perdana, yang kemudian melalui perjalanan panjang berabad-abad persekutuan orang-orang percaya ini mengalami perkembangan hingga berbentuk gereja seperti pada sekarang ini. Gereja sebagai organisme yang hidup merupakan karya Roh Kudus yang juga melibatkan peran serta orang-orang percaya. Keberadaan gereja juga dipahami sebagai bagian dari dunia, bagian dari zaman yang berkembang, bagian dari suatu tempat di mana ia berada, dan bagian dari masyarakat dunia, hal-hal ini disebut juga dengan konteks. Gereja sebagai organisme yang hidup tidak bisa terlepas dari konteks, artinya gereja akan dapat terus hidup apabila gereja terus merespon konteksnya. Gereja perlu berdialog dengan konteksnya, karena konteks senantiasa berubah. Dengan demikian gereja dituntut untuk selalu dinamis menyikapi perubahan-perubahan yang ada. Hal ini bertujuan agar gereja dapat menghadirkan damai sejahtera dari Allah kepada dunia. Perubahan zaman serta perkembangan pemikiran manusia turut menjadi bagian historis dari perjalanan panjang gereja. Berbagai pemikiran tentang gereja muncul dan berkembang pada masa lalu membentuk suatu sejarah yang mengandung nilai-nilai teologis yang berguna bagi keberadaan gereja pada masa sekarang. Oleh karena itu gereja tidak mungkin akan bertahan tanpa adanya perubahan, karena bila gereja tidak melakukan perubahan-perubahan, maka itu sama artinya bahwa gereja bersifat defensif yakni mempertahankan diri dalam bentuk lama dan terjebak pada sikap konservatif yang tertutup pada perubahan2. Tanpa menyikapi perubahan maka timbul kesulitan1Gerd Theissen, Gerakan Yesus, Sebuah Pemahaman Sosiologis Tentang Jemaat Kristen Perdana, Ledalero, Maumere, 2005, hlm. 1-2 2 band. pendapat Pdt. Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia, dalam Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1988, hlm. 8-91tersendiri bagi gereja, yakni bagaimana gereja dapat berperan sebagai garam dan terang di tengahtengah dunia. Selain itu gereja juga akan mengalami kesulitan dalam perannya sebagai komunitas eskatologis yang menantikan kegenapan Kerajaan Allah, apabila gereja tidak melaksanakan panggilan dan pengutusannya. Lagu yang berjudul Gereja Bagai Bahtera3 merefleksikan juga makna gereja sebagai sebuah bahtera di tengah perjalanannya. Namun apabila yang digunakan adalah bahtera kuno dan tua yang tidak laik berlayar di tengah gelombang besar, lalu bagaimana dengan nasib penumpang-penumpangnya. Sifat dinamis gereja juga diperlukan dalam menyatakan fungsi-fungsinya. Persekutuan, kesaksian dan pelayanan adalah fungsi-fungsi gereja dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Ketiga fungsi ini sebenarnya telah dilakukan oleh komunitas gereja perdana. Dan hal ini menjadi acuan bagi gereja di tengah kehadirannya pada masa kini. Tentu saja konteks zaman serta tempat gereja perdana pada waktu itu sangat berbeda dengan konteks gereja zaman ini khususnya di Indonesia. Hans Kng mengatakan tidak mungkin hanya mempertahankan gereja sepanjang masa dalam bentuk aslinya seperti gereja purba. Zaman yang berubah-ubah menuntut bentuk yang berubah-ubah.4 Pernyataan Hans Kung ini merupakan sebuah dorongan bagi upaya kontekstualisasi dari kehadiran gereja. Artinya bagaimana kehadiran gereja dapat dirasakan oleh banyak orang, sehingga danai sejahtera dapat benar-benar dirasakan oleh banyak orang. Realitas yang menonjol di dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia ialah kemajemukan serta kemiskinan yang mencerminkan sebagian realitas wajah kemiskinan di Asia5. Gereja-gereja di Indonesia berada di tengah-tengah realitas seperti ini. Sebuah realitas di mana pluralitas agama, kebudayaan, situasi sosial-ekonomi serta kemiskinan menjadi isu-isu yang berkembang di tengah perjalanan gereja-gereja di Indonesia. Dan memang kita harus jujur bahwa realitas ini terutama kemiskinan dialami juga oleh jemaat gereja-gereja di Indonesia. Realitas kemiskinan tidak terlepas dari perkembangan zaman yaitu modernisasi, dan globalisasi. Arus modernisasi membawa banyak perubahan selain kemiskinan itu sendiri, di antaranya yaitu individualisasi, eksklusifisme, bahkan sekularisasi. Dan tidak disangkal bahwa pengaruh dari hal-hal ini dapat dirasakan juga oleh jemaat atau gereja.3 4Sinode Am GKI, Nyanyian Kidung Baru, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1997, No. 111 Hans Kng, The Church, (Search Press, 1968), hal. 263 5 band. R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003, hal. 2012Dalam situasi seperti demikian jemaat juga pada akhirnya harus bergelut dengan pergumulan-pergumulan hidup yang semakin berat. Selain itu sebagai dampak dari arus globalisasi, pola pikir orang-orang semakin kritis dan berkembang tidak terkecuali jemaat. Ketika gereja tidak dapat menyikapi perubahan-perubahan yang ada terutama imbas modernisasi dan globalisasi, maka tidak tertutup kemungkinan jemaat tidak akan dapat melihat dan merasakan secara kongkrit kehadiran gereja yang selalu dikatakan membawa damai sejahtera. Sehingga damai sejahtera hanya cukup menjadi hal yang tidak mendarat pada realita kehidupan jemaat. Selain itu pemberitaan injil hanya terjalin satu arah saja, artinya berita injil tidak memiliki makana yang kongkrit di dalam kehidupan jemaat. Gereja Kristen Indonesia di mana penyusun menjadi anggota jemaatnya merupakan bagian dari gereja-gereja di Indonesia yang juga turut melaksanakan misi Allah melalui wujudnya sebagai jemaat-jemaat, klasis-klasis, sinode wilayah- sinode wilayah, serta sinode6. Wujud ini tentunya juga dipahami sebagai satu kesatuan tubuh Kristus, sebagai gereja Kristus. Dengan sistem pemerintahan presbiterial-sinodal yang merupakan warisan tradisi reformatoris Calvinis7, maka sebenarnya sangat terbuka suatu ruang bagi jemaat untuk mengembangkan pemikiran dan menjadi jemaat yang mandiri. Selain itu tradisi Calvinis tidak dapat dilepaskan dari bentuk organisasi gereja yang teratur. Sehingga ekklesiologi Calvin yang menekankan keteraturan ini banyak dianut gereja-gereja di dunia termasuk gereja-gereja di Indonesia. Namun jika melihat gereja hanya dalam bentuk organisasi saja maka secara tidak langsung menghilangkan makna teologis dari hakikat gereja itu sendiri. Sehingga gereja tidak menjadi sarana yang menjembatani hubungan manusia dengan Allah.8 Tradisi Calvin mengenai bentuk organisasi gereja memang membawa pengaruh terhadap cara-cara pengelolaan gereja, baik dari aspek manajemen gereja, aspek kepemimpinan serta kebijakan-kebijakan. Pengelolaan gereja serta kepemimpinan gereja pada akhirnya menjadi sorotan, apakah keberadaannya menolong jemaat bertemu Tuhan ataukah sebaliknya. Selain itu GKI juga masih menghadapi tantangan lain. Banyaknya jumlah jemaat yang tersebar di berbagai tempat membawa tantangan tersendiri bagi GKI di dalam menjalani kehidupan bergereja, pengelolaan gereja, dan yang terpenting ialah dalam usahanya melaksanakan tugas-tugas6 7lih. Tata Gereja GKI, Jakarta, BPMS GKI, 2003, hal 15 pasal 1 butir 1 Chris de Jonge, Ekklesiologi, Penataan Gereja dan Jabatan Gerejawi Menurut Yohanes Calvin, dalam Penuntun Buletin Gereja dan teologi, Jakarta,GKI Sin.Wil. Jabar, 1995, hal 245-248 8 band. pendapat Calvin tentang gereja yang benar, dalam Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen (terj.), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2005, hlm. 2253gereja. Kemudian keanekaragaman latar belakang jemaat seperti latar belakang pendidikan, profesi, ekonomi, sosial, budaya, bahkan pemahaman tentang iman kristen pada akhirnya mempengaruhi jemaat GKI di dalam menjalani kehidupan bergerejanya, pelayanannya serta pengelolaan gereja. Bicara tentang kehidupan bergereja, pelayanan, serta pengelolaan gereja, maka tidak lepas dari misi gereja. Misi gereja dipahami oleh GKI sebagai misi Allah yaitu karya penyelamatan Allah di dunia.9 Kemudian misi gereja atau misi Allah ini tidak dapat pula dilepaskan dari ekklesiologi atau pemahaman teologis tentang gereja yang dihayati oleh GKI. GKI merumuskan ekklesiologinya yaitu bahwa gereja adalah persekutuan yang esa dari orang-orang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruslamat dunia.10 Melalui rumusan ekklesiologis ini hendak ditegaskan oleh GKI bahwa anggota-anggota gerejalah yang mempunyai kedudukan yang menentukan dalam keberadaan gereja, dan yang dengan demikian berperan utama dalam pelaksanaan misi gereja.11 Berkaitan dengan peran utama jemaat di dalam melaksanakan misi gereja, tidak berarti bahwa peran dari jabatan gerejawi disingkirkan atau tidak ada sama sekali. Keberadaan jabatan-jabatan atau pejabatpejabat gerejawi tetap penting, namun tidak menempati posisi yang dominan atau bahkan menguasai kehidupan gereja.B.Permasalahan Permasalahan yang hendak penyusun singgung dalam tulisan ini ialah masalahkepemimpinan GKI yang tercermin di dalam rumusan-rumusan kepemimpinan di dalam Tata Gereja GKI. Rumusan-rumusan kepemimpinan dalam Tata Gereja GKI yang penyusun permasalahkan yaitu tentang persidangan-persidangan gerejawi.12 Berdasarkan rumusan-rumusan kepemimpinan tersebut penyusun melihat bahwa ada pola kepemimpinan yang mengatur kebijakan-kebijakan Majelis Jemaat sehingga proses pembangunan jemaat tidak dapat berjalan semestinya. Dalam praksis kepemimpinan GKI, penyusun mengangkat masalah pemberlakuan Liturgi GKI sebagai contoh kasus yang di dalamnya termuat penyeragaman bacaan leksionari. Contoh kasus ini menurut penyusun juga merupakan suatu masalah serius dalam hal kepemimpinan di GKI. Pemberlakuan liturgi GKI baru yang mulai diberlakukan pada Minggu Adven I tahun 200613 ini9Tata Gereja GKI, 2003, op.cit. hal. 3 Ibid 11 Lih. Lazarus Purwanto, Mengenal Ekklesiologi GKI, dalam Selisip Buletin Sinode, Jakarta, BPMSW Sin.Wil. Jabar, Edisi Juli-Agustus 2003, hal. 15 12 Tata Gereja GKI, 2003, op.cit, hal. 21 point 5 13 BPMS GKI, Liturgi GKI, Jakarta, BPMS GKI, 2006, hal. vii104