PERSOALAN TEODISE DI GKJ PATALAN AKIBAT PERISTIWA GEMPA BUMI YOGYAKARTA

Main Author: DWI ARGO MURSITO
Other Authors: EMMANUEL GERRIT SINGGIH,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG Bagi manusia, pengalaman senantiasa menjadi titik berangkat dalam mencari makna hidup. Seperti diungkapkan oleh Johanes Robini bahwa sejarah manusia merupakan pergulatan untuk mencari makna hidup.1 Bagi orang beriman, pengalaman hidup juga menjadi pijakan dalam rangka menghayati imannya. Hidup manusia tentu tidak melulu berisi pengalaman yang menyenangkan, tetapi juga berbagai pengalaman yang menyedihkan, bahkan bermacam-macam penderitaan yang dialami. Dengan demikian, pencarian makna hidup dan penghayatan iman manusia menghadapi tantangan dengan adanya berbagai pengalaman hidup, khususnya pengalaman penderitaan. Melalui pengalaman tersebut, manusia mencoba bertanya dan mencari jawab, sampai akhirnya menemukan makna hidup. Manusia juga mencoba merefleksikan imannya dari pengalaman. Fides quaerens intellectum iman mencari pengertian. Pengalaman penderitaan tidak hanya menyentuh rasio, tetapi juga iman seseorang. Berarti penderitaan menyentuh seluruh diri manusia.2 Penderitaan menjadi pengalaman religius yang menyebabkan manusia bertanya dan berusaha mencari sistem penjelasan,3 karena manusia tidak puas dengan hanya pasrah pada keadaan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa ada orangorang yang tidak berusaha mencari jawab. Namun bagi orang beriman, pengalaman penderitaan paling tidak menjadi sesuatu yang harus dipergumulkan, apalagi kalau penderitaan terjadi di sekitarnya.4 Trisno Susanto menegaskan bahwa pengalaman religius perlu dibahasakan, atau hanya akan menjadi peristiwa sesaat sebelum akhirnya lenyap dalam kesunyian.5 Bagi orang beriman, pengalaman penderitaan ini bisa membawanya pada segudang pertanyaan tentang Tuhan. Bahkan tidak jarang membawa orang pada penolakan terhadap Tuhan yang selama ini diimaninya. Masalah penderitaan menjadi persoalan yang terjadi di segala penjuru bumi, dan telah menjadi pokok pergumulan teologi maupun filsafat sejak lama. Sampai sekarang pun, masalahJohanes Robini lahir di Pontianak. Dia menempuh studi S1 di STF Driyarkara dan Bakaloreat Teologi di Fakultas Teologi Wedhabakti Yogyakarta. Sempat mengambil S2 (Licensiat) di tempat yang sama. (Lih. Johanes Robini M, Penderitaan dan Problem Ketuhanan [Yogyakarta:1998], hlm. 13). 2 Paul Budi Kleden, Membongkar Derita (Maumere: 2006), hlm. 7. 3 Hal ini tidak hanya terjadi pada masyrakat yang sudah maju, tetapi juga dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun, yang umumnya penjelasan diungkapkan melalui mitos yang diceritakan turun-temurun (Lih. Paul B Kleden, Sda. hlm 9). 4 Emanuel Gerrit-Singgih, Allah dan Penderitaan di Dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia dalam Zakaria J Ngelow, Teologi Bencana (Makassar: 2006), hlm. 259 5 Trisno Susanto, Adventus dan Tuhan yang Tak (Pernah) Selesai, dalam Harian Kompas edisi Rabu, 28 Nov 2007, hlm. 37.18ini tetap menjadi bahasan yang aktual. Masalah penderitaan ini pula yang akhir-akhir ini menjadi pergumulan dan gencar dibicarakan di Indonesia. Mulai dari persoalan krisis multidimensional, konflik, kriminalitas, kemiskinan, hingga peristiwa bencana alam yang datang silih berganti. Berkaitan dengan hal itu, telah banyak diskusi atau pembahasan tentang penderitaan yang terjadi di bangsa ini. Mau tidak mau, persoalan penderitaan juga menuntut agama (termasuk kekristenan) untuk memberikan tanggapan dan menjadi tantangan bagi gereja yang memiliki tugas untuk memelihara iman umat Tuhan. Persoalan penderitaan dalam berbagai wujudnya tentu terkait dengan konteks tertentu, sehingga menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hal inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk mengangkat masalah penderitaan ke dalam sebuah skripsi pada disiplin ilmu teologi.FOKUS PERMASALAHAN Berbicara tentang penderitaan berarti berbicara tentang masalah yang cakupannya sangat luas. Penderitaan ada dan terjadi dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang berbeda-beda. Penderitaan adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya keburukan (malum, evil) di dunia. Dalam hal ini penyusun mengikuti pembagian yang diungkapkan oleh Kleden, berkaitan dengan masalah penderitaan. Kleden menyebutkan bahwa dalam sejarah filsafat sejak zaman pertengahan, orang membagi malum dalam tiga golongan: 6 a. Keburukan Fisik (malum physicum), yaitu kenyataan negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, misalnya penyakit dan bencana alam. b. Keburukan Moral (malum morale), yaitu keburukan yang ditimpakan manusia atas manusia, misalnya perang dan kekerasan. c. Keburukan Metafisik (malum metaphysicum), yaitu keburukan yang melampaui penjelasan fisis dan moral. Berhubungan dengan kenyataan bahwa manusia itu bisa keliru, fana. Setiap manifestasi dari keburukan tersebut mengarah pada penderitaan. Crenshaw mengatakan, Each manifestation of evil achieves its sharpest focus in suffering.7 Dari ketiga macam malum di atas, penyusun akan memfokuskan perhatian pada keburukan fisik, khususnya yang disebabkan karena bencana alam yaitu gempa bumi. Peristiwa gempa bumi yang akan menjadi sorotan adalah gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Melalui pengalaman penderitaan akibat gempa bumi inilah akan digali bagaimana pemaknaanPaul Budi Kleden, Membongkar Derita, hlm. 18. Bdk. dengan tulisan Crenshaw yang membuat pembagian yang sama, yaitu natural evil, moral evil dan, relogiuos evil (James Crenshaw, Defending God [New York: 2005], hlm 15). 7 James Crenshaw, Sda. hlm 15.69