Kemerdekaan Dalam Pemahaman Paulus di Jemaat Galatia (Tafsir Retorik atas Surat Galatia 2: 15-21; 4: 1-7; 5: 13-26)
Main Author: | ENOS BAYU SETIYADI |
---|---|
Other Authors: | M W WIJANTO, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2010
|
Subjects: |
ctrlnum |
nim-01031909 |
---|---|
fullrecord |
<?xml version="1.0"?>
<dc schemaLocation="http://www.openarchives.org/OAI/2.0/oai_dc/ http://www.openarchives.org/OAI/2.0/oai_dc.xsd"><title>Kemerdekaan Dalam Pemahaman Paulus di Jemaat Galatia (Tafsir Retorik atas Surat Galatia 2: 15-21; 4: 1-7; 5: 13-26)</title><creator>ENOS BAYU SETIYADI</creator><subject>Theologi</subject><description>ABSTRAKSI Merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada atau pihak tertentu.1 Jika suatu bangsa mengatakan bahwa kita telah merdeka dari penjajahan, berarti bangsa tersebut telah bebas dari tekanan atau kungkungan para penjajah. Tidak ada lagi yang dapat memberi ancaman, penderitaan, atau kesengsaraan. Demikian juga Bangsa Indonesia telah mengumandangkan kemerdekaannya sejak tahun 1945. Namun merdeka tidak hanya dipahami demikian saja. Masih banyak kemerdekaan yang harus diperjuangkan. Kemerdekaan yang masih terus diperjuangkan bukan merdeka dari penjajahan atau kekangan namun merdeka untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Oleh sebab itu pengertian kemerdekaan memiliki arti yang luas dan mendalam karena merupakan hal yang hakiki bagi eksistensi diri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kemerdekaan selalu relevan untuk dibicarakan sekarang atau kapanpun dan oleh siapapun. Banyak pihak merasa ada hambatan-hambatan untuk melakukan sebuah kebenaran atau keadilan sehingga mereka kehilangan kemerdekaannya. Demikian pula dengan apa yang terjadi dengan gereja. Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya seringkali kehilangan kemerdekaannya. Tidak lagi bebas untuk bertindak benar sebagai implementasi orang percaya. Bukan hanya Pendeta Jemaat, namun jemaat juga kehilangan kebebasan untuk menyelesaikan masalahmasalahnya. Salah satu yang menjadi persoalan ketidak-merdekaan orang Kristen adalah legalisme yang terjadi di gereja. Gereja rentan untuk jatuh dalam persoalan legalisme. Yang baru-baru ini terjadi adalah persoalan bacaan leksionari pada khotbah pembukaan dan penutupan Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga.2 Tema MPHB adalah Keluarga Peduli Lingkungan sedangkan bacaan leksionari tidak sesuai atau menyentuh tentang persoalan keluarga dan lingkungan. Di kalanganGKI (Gereja Kristen Indonesia) saat ini menggunakan bacaan leksionari dengan tiga bahan bacaan kitab ditambah satu Mazmur tanggapan. Penggunaan leksionari saja dalam liturgy membawa persoalannya sendiri. Di dalam evaluasi penggunaan leksionari, para pelayan gereja, menyampaikan bahwa bahan leksionari tidak sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kebutuhan gereja lokal, konteks jemaat, dan penafsiran secara utuh dari bahan tersebut. Antara tema dan bahan bacaan pun terkadang tidak sesuai. Bahkan penggunaan leksionari ini masih akan dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, bahan MPHB sepertinya terlalu memaksakan menggunakan bacaan leksionari. Sehingga GKI yang kini identik dengan bacaan leksionarinya seolah-olah harus menggunakan dan memaksakan walaupun tidak ada ketepatannya. Jika demikian bukankah yang terlihat adalah tidak ada kebebasan atau kemerdekaan untuk menyelesaikan sebuah persoalan.MILIKUKDW</description><publisher>SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta</publisher><contributor>M W WIJANTO, </contributor><date>2010-01-31</date><type>Thesis:Bachelors</type><permalink>http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/nim/01031909</permalink><right>Copyright (C) 2010 pada Penulis</right><journal/><recordID>nim-01031909</recordID></dc>
|
format |
Thesis:Bachelors Thesis |
author |
ENOS BAYU SETIYADI |
author2 |
M W WIJANTO, |
title |
Kemerdekaan Dalam Pemahaman Paulus di Jemaat Galatia (Tafsir Retorik atas Surat Galatia 2: 15-21; 4: 1-7; 5: 13-26) |
publisher |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta |
publishDate |
2010 |
topic |
Theologi |
contents |
ABSTRAKSI Merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada atau pihak tertentu.1 Jika suatu bangsa mengatakan bahwa kita telah merdeka dari penjajahan, berarti bangsa tersebut telah bebas dari tekanan atau kungkungan para penjajah. Tidak ada lagi yang dapat memberi ancaman, penderitaan, atau kesengsaraan. Demikian juga Bangsa Indonesia telah mengumandangkan kemerdekaannya sejak tahun 1945. Namun merdeka tidak hanya dipahami demikian saja. Masih banyak kemerdekaan yang harus diperjuangkan. Kemerdekaan yang masih terus diperjuangkan bukan merdeka dari penjajahan atau kekangan namun merdeka untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Oleh sebab itu pengertian kemerdekaan memiliki arti yang luas dan mendalam karena merupakan hal yang hakiki bagi eksistensi diri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kemerdekaan selalu relevan untuk dibicarakan sekarang atau kapanpun dan oleh siapapun. Banyak pihak merasa ada hambatan-hambatan untuk melakukan sebuah kebenaran atau keadilan sehingga mereka kehilangan kemerdekaannya. Demikian pula dengan apa yang terjadi dengan gereja. Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya seringkali kehilangan kemerdekaannya. Tidak lagi bebas untuk bertindak benar sebagai implementasi orang percaya. Bukan hanya Pendeta Jemaat, namun jemaat juga kehilangan kebebasan untuk menyelesaikan masalahmasalahnya. Salah satu yang menjadi persoalan ketidak-merdekaan orang Kristen adalah legalisme yang terjadi di gereja. Gereja rentan untuk jatuh dalam persoalan legalisme. Yang baru-baru ini terjadi adalah persoalan bacaan leksionari pada khotbah pembukaan dan penutupan Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga.2 Tema MPHB adalah Keluarga Peduli Lingkungan sedangkan bacaan leksionari tidak sesuai atau menyentuh tentang persoalan keluarga dan lingkungan. Di kalanganGKI (Gereja Kristen Indonesia) saat ini menggunakan bacaan leksionari dengan tiga bahan bacaan kitab ditambah satu Mazmur tanggapan. Penggunaan leksionari saja dalam liturgy membawa persoalannya sendiri. Di dalam evaluasi penggunaan leksionari, para pelayan gereja, menyampaikan bahwa bahan leksionari tidak sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kebutuhan gereja lokal, konteks jemaat, dan penafsiran secara utuh dari bahan tersebut. Antara tema dan bahan bacaan pun terkadang tidak sesuai. Bahkan penggunaan leksionari ini masih akan dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, bahan MPHB sepertinya terlalu memaksakan menggunakan bacaan leksionari. Sehingga GKI yang kini identik dengan bacaan leksionarinya seolah-olah harus menggunakan dan memaksakan walaupun tidak ada ketepatannya. Jika demikian bukankah yang terlihat adalah tidak ada kebebasan atau kemerdekaan untuk menyelesaikan sebuah persoalan.MILIKUKDW |
id |
IOS2784.nim-01031909 |
institution |
Universitas Kristen Duta Wacana |
institution_id |
96 |
institution_type |
library:university library |
library |
Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana |
library_id |
528 |
collection |
Sistem Informasi Tugas Akhir (SinTA) |
repository_id |
2784 |
subject_area |
Agama Akuntansi Arsitektur |
city |
KOTA YOGYAKARTA |
province |
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA |
repoId |
IOS2784 |
first_indexed |
2016-10-07T01:42:28Z |
last_indexed |
2016-10-07T01:42:28Z |
recordtype |
dc |
_version_ |
1765851661679460352 |
score |
17.538404 |