KONSELING PASTORAL LINTAS BUDAYA BAGI WARGA DEWASA DI GEREJA KRISTEN SUMBA (GKS) JEMAAT WAINGAPU
Main Author: | SOFIANI RAHMAWATI TALO |
---|---|
Other Authors: | HENDRI WIJAYATSIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUAN1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia tentunya memiliki masalah dan pergumulannya masing-masing. Persoalanpersoalan ini mungkin berkaitan dengan masalah orang per orang atau pribadi, masalah keluarga atau pun masalah dalam masyarakat. Persoalan-persoalan ini membutuhkan penyelesaian dan jalan keluar serta membutuhkan orang lain sebagai tempat berbagi. Kehadiran orang lain diharapkan dapat membantu menemukan pemecahan atau jalan keluar dari masalah yang dihadapinya secara bersama-sama. Begitu juga halnya warga jemaat 1 GKS Waingapu sebagai manusia, yang tidak luput dari masalah dan membutuhkan orang lain. Untuk menjawab setiap pergumulan yang ada, jemaat sangat mengharapkan adanya campur tangan dari pihak gereja 2 , baik itu dari pendeta maupun majelis jemaat. Salah satu bentuk campur tangan gereja untuk menanggapi pergumulan jemaat adalah melalui pelayanan konseling dan pendampingan pastoral. Gereja memiliki keterpanggilan untuk menumbuhkan dan membangun iman dan spiritualitas orang-orang beriman pada ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan dan firman-Nya. Melalui pelayanan konseling dan pendampingan pastoral, gereja akan menemukan akar permasalahan yang menghambat pertumbuhan jemaat dalam mengenal dan menyerap firman Allah, mampu mengurangi kelumpuhan kemampuan umat Kristen untuk memberi dan menerima kasih, serta dapat membantu jemaat menjadi gereja, yaitu persekutan yang di dalamnya kasih Allah menjadi realitas yang dialami dalam hubungan-hubungan. 3 Konseling dan pendampingan pastoral diharapkan dapat menjadi alat penyembuhan dan pertumbuhan bagi jemaat secara utuh dan menyeluruh.Pendeta sebagai orang yang memiliki peran penting dan berpengaruh dalam sebuah gereja, seringkali menjadi sosok panutan dan menjadi sorotan jemaatnya. Peran pendeta dipandang1Jemaat di sini dimaksudkan sebagai perwujudan gereja yang ada dalam lingkungan (lembaga) gereja (GKS Waingapu) 2 Gereja yang dimaksud adalah gereja sebagai lembaga yang terdiri dari Pendeta dan Majelis Jemaat sebagai konselor, serta warga jemaat sebagai konseli. 3 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jakarta, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, Kanisius, 2006), hal. 17-18sebagai pusat atau sentral dalam gereja yang terpanggil menjadi orang yang memungkinkan terwujudnya keutuhan rohani di sepanjang siklus kehidupan. Pendidikan teologi yang diperolehnya menolong memperlengkapinya dengan sumber dan kecakapan yang perlu untuk dipergunakan sebagai guru, pembimbing dan pelatih kehidupan rohani dalam semua aspek pelayanannya termasuk dalam proses penyembuhan dan pertumbuhan rohani melalui penggembalaan dan konseling pastoral.4 Secara psikologis, pendeta menjadi tokoh identifikasi yang khas dalam gereja. Jemaat tidak hanya mengidentifikasi dirinya dengan tujuan atau nilainilai Kristiani yang tertuju pada Yesus Kristus tetapi juga pada pribadi pendeta. Suka atau pun tidak, mau atau tidak, pendeta tetap menjadi pusat perhatian dalam jemaat karena ia menjadi tumpuan harapan jemaat. Namun, ketika penyusun melakukan penelitian, penyusun melihat bahwa bukan hanya pendeta saja yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta keterpanggilan untuk mendampingi seseorang. Mereka adalah anggota jemaat lain dalam hal ini majelis jemaat yang dipandang mampu dan memiliki talenta. Mereka kemudian diarahkan dan dibina oleh pendeta untuk menjadi konselor. Hal ini dilakukan untuk membantu pekerjaan pendeta karena wilayah pelayanan yang cukup luas.Berdasarkan uraian tersebut, penyusun melihat bahwa peranan seorang pendeta dan majelis jemaat sangat dibutuhkan khususnya dalam konseling pastoral lintas budaya. Harus diakui bahwa hingga saat ini masih ada sebagian jemaat yang menganggap pendeta adalah segala-galanya, sehingga mereka lebih memilih pendeta sebagai tempat untuk berbagi persoalan kehidupannya. Pendeta dianggap lebih mampu mencarikan jalan keluar atas masalah yang ia hadapi. Namun, ada juga yang tidak lagi menganggap pendeta adalah segala-galanya sehingga mereka juga mau terbuka terhadap majelis jemaat yang mereka anggap mampu menolong mereka dari persoalan kehidupan yang mereka alami. Ketika jemaat mau membuka diri terhadap pendeta maupun majelis jemaat mengenai pergumulan dan masalah mereka, ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh mereka sebagai konselor 5 yaitu unsur budaya masing-masing pihak, baik unsur budaya konselor maupun konseli 6 . Konselor dengan latar belakang budayanya tentunya telah memiliki nilai yang tertanam dalam dirinya dari sudut pandang budayanya begitu pula yang4 5Sda, hal. 133 Konselor adalah Pendeta dan Majelis Jemaat di GKS Waingapu. Majelis jemaat adalah tua-tua adat, baik dari suku Sumba maupun suku Sabu. 6 Konseli adalah warga jemaat di GKS Waingapu.dialami oleh konseli. Unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing pihak perlu diperhatikan karena unsur budaya akan berpengaruh pada proses konseling itu sendiri. Pendeta dan majelis jemaat sebagai seorang konselor harus menyadari benar bahwa kebudayaan yang melekat pada dirinya dan juga pengalaman yang ia pernah rasakan dan bahkan mungkin dialaminya akan berdampak pada proses konseling pastoral itu sendiri. Bagaimana ia akan memahami suasana hati konseli kalau ia tidak memahami nilai yang ada dalam diri konseli menyangkut unsur budaya yang ada dalam dirinya. Oleh sebab itulah pemahaman yang mendalam mengenai konseling lintas budaya harus benar-benar diperhatikan oleh pendeta dan majelis jemaat sebagai seorang konselor di GKS Waingapu.