HERMENEUTIK FEMINIS TERHADAP HUKUM PERKAWINAN PADA ULANGAN 22:13-30
Main Author: | ASKARIA TIARISTHY |
---|---|
Other Authors: | EMMANUEL GERRIT SINGGIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANI. Latar Belakang Permasalahan Sejalan dengan situasi politik bangsa Indonesia saat ini, kehidupan sosial perempuan Indonesia tampak membutuhkan adanya reformasi mendasar. 1 Artinya, bahwa dalam perkembangan zaman yang semakin modern menjadikan perempuan Indonesia juga semakin membutuhkan suatu perubahan hidup yang lebih bebas, luwes serta menuntut adanya kesetaraan gender dalam tatanan masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menenggelamkan nilai perempuan sebagai manusia untuk dihargai dengan selayaknya telah melatarbelakangi kebutuhan tersebut. Peristiwa nyata yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, pada 12-13 Mei 1998 masih menyisakan luka yang dalam bagi perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan oleh sejumlah orang. Semakin maraknya ekses kekerasan dalam rumah tangga atau yang disingkat menjadi KDRT, dan juga munculnya RUU Pornografi. Ketiga contoh ini adalah peristiwa-peristiwa nyata, yang terulas secara besar dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang telah menimpa kaum perempuan yang membatasi ruang gerak, hak-hak dan juga eksistensi mereka sebagai perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan dalam masyarakat Indonesia masih mengalami diskriminasi dan juga ketidakadilan gender. 2 Ketidakdilan gender tersebut muncul dalam bentuk: 3 1. marginalisasi, adalah menempatkan perempuan ke pinggiran. Kedudukan perempuan berada setelah laki-laki karena citra diri yang melekat dalam dirinya seperti halnya; lemah, kurang-tidak rasional, kurang-tidak berani sehingga kesempatan perempuan untuk memimpin tidak dapat dimiliki. 2. stereotip adalah pembakuan yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Contohnya: stereotip dalam keluarga yaitu urusan kerumah tanggaan yang sepenuhnya1Dra. Dri Arbiningsih S, M. Ph, Kartini dan Perjuangan Hak Perempuan Dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Penuntun Vol 4 No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 451.Dr. Sientje Merentek-Abram, Wanita Dalam Konflik Gereja-Keterlibatan Dalam Pembaharuan, Penuntun Vol 4 No. 16, (Jakarta: GKI Jabar, 2000) p. 483. A. Nunuk P. Murniati, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM (Magelang: Indonesiatera, 2004) p. xx-xxiv.32diserahkan pada isteri dan anak perempuan; stereotip dalam masyarakat adalah perempuan yang tegas mendapatkan penilaian sebagai perempuan yang judes dan galak. 3. subordinasi terhadap perempuan adalah pandangan yang menempatkan perempuan dan karyanya dalam posisi rendah daripada laki-laki. 4. beban ganda terhadap perempuan, yaitu beban yang disandang perempuan di tempat kerja. Contohnya adalah perempuan yang bekeja dalam sektor publik mendapatkan juga pekerjaan di sektor domestik yaitu keluarga. 5. kekerasan terhadap perempuan adalah bermula dari ungkapan stereotip laki-laki atas perempuan yang menunjukkan kekuasaan. Lebih lanjut misogini 4 perempuan muncul dari pandangan klasik filsafat yang semakin memarginalkan perempuan. Gadis Arivia mengungkapkan pandangan Aristoteles:Menurut Aristoteles ada dua kelas manusia yang berada di luar aktivitas rasio manusia, yakni budak dan perempuan. Menurutnya, kehidupan budak adalah semacam properti yang dapat dipakai dan hanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Kelihatannya tidak jauh berbeda jauh juga dengan yang dialami perempuan. Kehidupan perempuan bersifat fungsional. Ia adalah isteri dari laki-laki yang hanya digunakan untuk mempunyai anak, dan sebagaimana budak, ia mengambil bagian untuk menyediakan kebutuhan hidup. Aristoteles mengatakan bahwa hal ini harus dipertahankan demi sebuah negara (polis) di mana laki-lakinya dapat bebas berkonsentrasi untuk kehidupan intelektual dan politiknya. 5Dengan demikian semakin jelas bahwa perempuan disejajarkan dengan budak yang identik sebagai kaum yang tersisih. Secara eksplisit Aristoteles mengatakan bahwa perempuan hanyalah dibutuhkan untuk kepentingan domestik yang terkait dengan reproduksi. Laki-laki masuk dalam jajaran struktur masyarakat yang utama dan mempunyai kebebasan mutlak. Perempuan dipandang sebagai inferior semata.Upaya perempuan dalam memenuhi kebutuhan mendasar ini tampak dengan munculnya golongan yang mengatasnamakan mereka dengan gerakan feminis yang mencoba untuk memperhatikan kepentingan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai manusia4Misogini adalah kebencian terhadap perempuan yang terutama oleh laki-laki Drs. Peter Salim&Yenny Salim, Kamus Bahasia Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991) p.986. Misogini adalah kebencian kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang sering kali diliputi dengan tindak kekerasan kaum laki-laki kepada perempuan. Lih. Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumere: Ledalero, 2002) p. 440. Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: YJP, 2003) p. 7.5yang selayaknya dan utuh. Dalam menanggapi hal ini, penyusun melihat ada 2 (dua) indikasi yang menjadi penyebab munculnya tindakan-tindakan itu, yaitu karena adanya perbedaan gender dan budaya patriarki yang mendominasi. Perbedaan Gender 6 Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. 7 Akan tetapi, dalam perkembangannya seringkali gender dikukuhkan menjadi sesuatu hal yang sama dengan kodrat sebagai perempuan. Sehubungan dengan ini Dr. Mansour Fakih mengatakan tentang gender demikian:gender itu dibentuk, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran agama sehingga melalui suatu proses hal itu dianggap sebagai suatu ketentuan yang datangnya dari Tuhan. 8Dengan kata lain bahwa adanya perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki ini muncul dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan semakin dikuatkan dengan adanya nilai agama dan juga tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sehingga perbedaan gender itu dipandang sebagai sesuatu hal yang mutlak. Sedangkan kodrat adalah ketentuan yang dilihat secara biologis yang dengan kata lain merupakan ketentuan dari Tuhan. Jelas bahwa pengertian dari keduanya berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidak akan menimbulkan permasalahan selama perbedaan itu juga tidak menimbulkan ketidakadilan di dalamnya. Perbedaan itu telah membawa pada ketidakadilan gender.Budaya Patriarki Budaya patriarki yang berkembang dalam tatanan masyakarakat Indonesia cukup kuat mempengaruhi penilaian terhadap perempuan. Secara harafiah patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarkh (patriarch). Wujud patriarki terlihat dengan lebih menyukai anak laki-laki, diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam pembagian makanan, beban kerja rumah tangga pada perempuan dewasa dan perempuan muda, rendahnya kesempatan bersekolah untuk6Teori feminis kontemporer berhati-hati dalam membedakan jenis kelamin dengan gender. Gender dipandang sebagai konstruksi sosial. Lih. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminism (terj: Mundi Rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007) p. 177. Band. Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 8. Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) p. 9.78anak perempuan, rendahnya kebebasan dan gerak bagi kalangan perempuan, pemukulan isteri, kontrol laki-laki atas perempuan dewasa dan muda, usikan seksual di tempat kerja, rendahnya hak perempuan atas harta dan warisan, kontrol laki-laki atas tubuh perempuan dan seksualitasnya. 9 Nilai-nilai yang muncul dan berkembang dalam masyarakat Indonesia hingga kini masih di bawah pengaruh patriarki. Implikasi dari pengaruh budaya patriarkhal ini adalah dengan menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki dan perempuan tidaklah lepas dari sekedar obyek laki-laki.Dalam perkembangannya lingkungan sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi budaya patriarki juga menyertakan keterkaitannya dengan hukum. 10 Secara khusus di Indonesia, sejumlah kajian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia mengambil kesimpulan betapa marginalnya posisi perempuan 11 . Seperti halnya, mengenai Hukum Perkawinan, Hukum Ketenagakerjaan. Berbicara tentang hukum, maka Siti Musdah Mulia mengatakan 12 :Hukum adalah aturan-aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Karena itu, hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat termasuk nilai-nilai adat, tradisi dan agama.Namun nyatanya tidaklah demikian yang terjadi dalam perkembangan hukum Indonesia. Nilai kebersamaan justru memudar dengan adanya dominasi nilai patriarki di dalamnya. Selain itu, para feminis juga meyakini bahwa hukum tidak lahir dalam kekosongan begitu saja tanpa adanya pengaruh yang lain, melainkan juga merupakan suatu hasil pergulatan kepentingan dalam berbagai aspek baik itu sosial, budaya, ekonomi dan juga politik, dan meyakini bahwa nilai-nilai dan norma patriarkis juga melandasi bagaimana hukum itu dirumuskan. 13 Itu artinya adalah9Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996) p. 1-3 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996) p. 12.10Lih. hasil Penelitian Tapi Omas Ibromi, Wanita dan Hukum Nasional (1997 ); Siti Musdah Mulia, Posisi Perempuan Dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (2001); dan Sulistyowati Irianto, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum (2003) ed. Siti Musdah Mulia, Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam dalam Jurnal Perempuan 49, Hukum Kita Sudahkah Melindungi (Jakarta: YJP, 2006) p. 69. Siti Musdah Mulia, Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam dalam Jurnal Perempuan 49, Hukum Kita Sudahkah Melindungi (Jakarta: YJP, 2006) p. 70.13 1211R. Valentina Sagala, Program Legislasi Nasional Pro Perempuan Sebuah Harapan Ke Depan, dalam majalah Jurnal Perempuan 49, Hukum Kita Sudahkah Melindungi, (Jakarta : YJP, 2006) p. 8bahwa nilai-nilai itu termasuk di dalamnya nilai partriarki yang sudah merasuk dalam hukum yang seharusnya mencerminkan keadilan. Ketika suatu hukum di dominasi dengan adanya budaya partriarki maka keadilan itu diragukan.Kesadaran akan ketidakadilan kaum perempuan tidak hanya terjadi dalam dunia masyarakat Indonesia. Hal itu juga turut terbawa dalam kehidupan bergereja. Perlakuan perempuan sebagai kaum yang kedua dalam lingkungan gereja tentu tidaklah lepas dari prinsip agama Kristen yakni Alkitab sebagai sumber moral. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa dalam penulisannya, Alkitab itu juga dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal baik dari segi penulis maupun konteks masyarakatnya secara khusus dalam hal ini Perjanjian Lama. Sehingga hukum dalam Alkitab itu sendiri menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Hukum-hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama itu mengatur soal warisan, perkawinan, perceraian, peperangan dsb. Dalam hal ini bagian hukum dalam Perjanjian Lama yang menggelitik pemikiran penyusun adalah mengenai hukum perkawinan yang berada dalam Kitab Ulangan.