KESIAPAN WARGA JEMAAT GKJW WONOREJO MENGHADAPI ADANYA PEMELUK AGAMA LAIN YANG BERDOMISILI DI DESA KRISTEN WONOREJO
Main Author: | PENTHI KURNIA SARI |
---|---|
Other Authors: | HENDRI WIJAYATSIH, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2008
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang Permasalahan GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) adalah gereja pribumi yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Gereja yang bersifat sinodal tersebut sampai saat ini telah memiliki 12 Majelis Daerah (dahulu bernama Klasis), 150 Jemaat dan 134.000 warga.1Untuk menjadi gereja besar di Jawa Timursampai seperti saat ini, ada banyak perjuangan yang harus dilewati. Perjuangan itu bisa dilihat dari sisi historis GKJW, mulai dari cikal bakal, semenjak berdiri sampai kondisi saat ini. Adapun cikal bakal GKJW sebagai gereja Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari peranan tradisi dan kebiasaan masyarakat Jawa Timur. Masyarakat pertanian tradisional Jawa Timur telah menjadi kebun bibit bagi pertumbuhan pertama orang-orang Kristen Protestan (selanjutnya akan disebut Kristen saja).2Pertanianlah yang kemudian menjembatani antara pergumulan iman beberapamasyarakat Jawa Timur, yang tidak secara sengaja bertemu dengan tradisi Kekristenan.Sebagai masyarakat pertanian tradisional, warga Jawa Timur saat itu sangatlah bergantung pada luas lahan pertanian. Hal tersebut sudah barang tentu karena belum adanya teknologi yang memadai saat itu untuk meningkatkan kualitas pertanian. Demikian juga dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat mengakibatkan terbatasnya jumlah tanah yang tersedia untuk lahan pertanian. Keadaan yang mendesak karena kebutuhan hidup, memaksa beberapa orang mencari cara untuk mendapatkan tanah baru sebagai tempat bermukim dan juga lahan pertanian. Akhirnya, beberapa orang berinisiatif untuk mengembara mencari lahan yang bisa diusahakan nantinya sebagai sumber mata pencaharian. Di bawah pimpinan orang yang dipandang sukses dan memiliki keberanian serta kekuatan rohani yang melebihi orang pada umumnya, dimulailah babak baru pembukaan hutan.3Pembukaan hutan ini diharapkan mampu untuk menjawabkebutuhan mereka akan lahan pemukiman dan lahan garapan.Bambang Ruseno, GKJW Menghadapi Transformasi Sosial dan Alih Generasi, GKJW Kini dan Masa Depan. Malang, 2007, hlm 1, makalah tidak diterbitkan 2 Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: Gunung Mulia, 1994, hlm 67 3 Scn 2, hlm 1681Di tahun 1827, Coolen4mendapatkan ijin dari pemerintah Belanda untuk membuka dan5mengerjakan hutan Ngoro seluas 2000 bau atau + 1.420 ha, selama 30 tahun.Dengankeberanian yang tinggi, ia bersama beberapa orang membabat hutan Ngoro dan mengubahnya menjadi lahan-lahan pertanian. Banyak orang yang tertarik datang ke Desa Ngoro untuk ikut mengadu nasib di sana. Sementara itu Coolen menyewakan beberapa tanah kepada para pendatang tersebut.Pada kenyataannya, orang-orang yang datang ke Desa Ngoro tidak hanya ingin mencari lahan pemukiman dan garapan, tetapi banyak juga di antara mereka yang ingin mencari ketenangan hidup. Untuk menjawab pergumulan beberapa pendatang tersebut, pada akhirnya setiap hari Coolen mengajak para penduduk untuk memperbincangkan suatu elmu yang sudah ia kuasai. Demikianlah permulaan pengabaran Injil di Desa Ngoro, yang menjadi sebuah jawaban terhadap pergumulan iman beberapa warga yang datang ke desa tersebut.Pada suatu hari, beberapa murid Coolen bertemu dengan beberapa orang Kristen Wiyung yang telah menerima baptisan. Kemudian mereka menanyakan masalah baptisan tersebut kepada Coolen yang sudah mereka anggap sebagai guru ngelmu mereka. Tetapi pada saat itu Coolen tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu para pengikut Coolen datang ke Surabaya untuk mendapatkan jawaban yang mereka inginkan tentang arti sebuah baptisan. Pada tanggal 25 September 1844, murid-murid Coolen seperti : Singotaruno, Ditotaruno, Kunto dan Anip, menerima baptisan dari Emde.6Mengetahui bahwa murid-muridnya telah menerimabaptisan, Coolen marah besar karena para murid mencari sesuatu yang tidak ia ajarkan. Kejadian tersebut mendorong Coolen untuk mengusir para murid yang telah menerima baptisan tersebut.Setelah diusir, para murid yang dimotori oleh Ditotaruno, pergi ke selatan Ngoro dan membuka hutan Kracil (yang terkenal angker). Dan pada tahun 1847 tempat itu diberi nama Mojowarno,Coolen adalah keturunan Rusia-Jawa yang mendapatkan petunjuk dari wahyu Ki Gede Ngoro sebagai seorang pendiri Desa Ngoro melalui anaknya yang bernama Damar. Pada akhirnya menetap di Ngoro dan menyebarkan Injil kepada para pendatang yang datang tidak hanya mencari lahan pertanian, tetapi juga mencari elmu. Handoyomarno, Benih yang Tumbuh 7 GKJW, GKJW: Malang, 1976, hlm 24-25 5 Scn 4, hlm 25 6 Seorang Jerman yang datang ke Indonesia untuk membuktikan bahwa di negara ini tidak ada musim dingin. Melalui istrinya yang adalah orang Jawa, ia mengenal budaya Jawa dan pada akhirnya tergerak untuk mengabarkan Injil. Melalui dialah orang-orang mengenal baptisan. Scn 4, hlm 32-334sebagai tempat pemukiman baru. Dari tahun ke tahun penduduk Desa Mojowarno bertambah pesat. Dan muncullah seorang tokoh penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan iman penduduk Desa Mojowarno yaitu Paulus Tosari. Dia salah satu orang yang ikut memelihara iman penduduk dengan pengajaran-pengajarannya, sehingga penduduk Mojowarno berkembang pesat terutama dalam hal kehidupan keimanan. Pada tahun 1848, dibabtiskan 56 orang oleh Pdt. Jellesma 7 di Mojowarno. Menurutnya, baptisan di Mojowarno ini merupakan kelahiran spontan gereja Kristus di tengah-tengah orang-orang Jawa.8Dari kehidupan masyarakat Mojowarno, nampaklah suatu kehidupan masyarakatpertanian tradisional, yang di dalamnya juga hidup suatu persekutuan orang-orang percaya. Mereka senantiasa menyelenggarakan pelajaran agama, ibadah atau kebaktian secara teratur serta melakukan sebuah sakramen. Di dalam perkembangannya, Jemaat Mojowarno menjadi sebuah pemukiman padat penduduk yang mandiri, dalam hal mencukupi kebutuhannya sendiri. Dan tidak hanya sebatas itu, Jemaat Mojowarno juga berdikari dalam pengabaran Injil ke daerahdaerah lain. Dari proses inilah terbentuklah pemukiman-pemukiman Kristen yang lainnya di kawasan Jawa Timur khususnya.Dari sinilah awal terbetuknya suatu komunitas baru dengan identitas yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur. Komunitas Kristen tersebut menjadi berbeda dengan komunitas yang lain karena warna keagamaan yang kental, yang pada akhirnya mempersatukan mereka dalam sebuah keluarga besar di sebuah desa Kristen. Hal tersebut dapat dilihat di dalam kehidupan mereka, baik dalam kehidupan keseharian maupun dalam kehidupan kerohanian. Sebagai masyarakat yang tergolong dalam masyarakat yang menjunjung nilai sakral, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktifitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan. menjadi ciri khas sebuah desa Kristen.9Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan pada akhirnya7 8Seorang Misionaris, di tahun 1848 menjadi seorang Pendeta Gereja Kristen Protestan Surabaya. Scn 4, hlm 37 Scn 4, hlm 37 9 Elisabeth K Nothingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : RaJawali, 1985, hlm 5.Semakin lama, desa Kristen semakin bertumbuh pesat. Dan pertumbuhan desa Kristen tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua faktor. 10 Yang pertama adalah bertambahnya jumlah anggota baru di dalam keluarga melalui pernikahan atau pun melalui keluarga-keluarga lain yang ikut berdomisili di desa Kristen tersebut. Yang kedua, desa-desa Kristen sebagai pemukimanmemiliki daya tarik tersendiri bagi banyak orang, untuk ikut bergabung menjadi bagian dari penduduk desa Kristen. Ketertarikan para pendatang dimungkinkan karena keteraturan yang telah tercipta, khususnya di bidang pertanian dan juga faktor tidak ditinggalkannya budaya setempat, tetapi tetap budaya tersebut tetap mengakar kuat dan ikut mempengaruhi keteraturan ritme pola hidup para penduduknya. Ditambah lagi kemampuan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan, dibangunnya sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, menambah ketertarikan orang untuk juga ikut tinggal di sebuah desa Kristen. Kemandirian-kemandirian tersebut pada akhirnya lebih memperkuat ciri khas dari keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Timur.Akan tetapi, kemandirian-kemandirian yang merujuk pada suatu kondisi telah terpenuhinya penyediaan pangan, sarana- prasarana pendidikan dan kesehatan serta pemeliharaan persekutuan iman, nampaknya mempersempit ruang gerak bagi mobilitas para penduduk di desa-desa Kristen. Agaknya kondisi semacam inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesan adanya pola hidup persekutuan yang eksklusif yaitu kehidupan yang terpisah, tertutup dan menyendiri dari komunitas-komunitas yang lain. 11Di dalam perkembangannya saat ini, desa-desa Kristen pun mengalami banyak pergeseran dan perubahan. Pergeseran yang nampak terlihat adalah adanya pergesesan dalam hal kehidupan kemasyarakatan. Sekitar 40 jemaat pemukiman (desa-desa Kristen) di Jawa Timur yang tersebar baik di wilayah Surabaya, Kediri, Madiun, Besuki dan daerah Malang Selatan, sudah tidak lagi 100 % penduduknya beragama Kristen. Meskipun tidak lagi murni penduduknya beragama Kristen, tetapi dalam hal kepercayaan, saat ini pemeluk agama Kristen masih menjadi mayoritas di desa-desa Kristen tersebut.12Kehidupan plural beragama inilah yang tidak bisa dipungkirioleh siapapun, termasuk juga oleh warga Kristen yang hidup berkoloni dalam sebuah desa1011Scn 4, hlm 21 Scn 2, hlm 81 12 Scn 2, hlm 164Kristen sekali pun. Pergeseran-pergeseran tersebut akibat terjadinya desakan kebutuhan baik itu kebutuhan ekonomi, kebutuhan sosial, sehingga membuat laju mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu orang-orang Kristen yang hidup di dalam rutinitas kehidupan homogen bisa hidup heterogen umat beragama.14 13, mau tidak mau harus mempersiapkan diri untukdi segala bidang kehidupan termasuk dalam hidup bertoleransi antarSebagai desa dengan pemeluk agama mayoritas, dan telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, warga di desa Kristen memiliki suatu pemahaman tertentu akan cara pandang mereka terhadap komunitas mereka sendiri. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, apakah ketika struktur kemasyarakatan desa Kristen mulai bergeser menjadi heterogen, identitas sebagai komunitas Kristen yang mereka miliki tetap seperti yang mereka pahami semenjak awal. Atau justru mulai bergeser mengikuti pergeseran konteks kemasyarakatan yang mengalami perubahan. Pemahaman ini penting karena mempengaruhi kesiapan warga Kristen menghadapi adanya pemeluk agama lain di Desa Kristen Wonorejo. Pergeseran kemasyarakatan yang tidak dapat dihindari lagi terjadi di pemukiman-pemukiman Kristen.Homogen memiliki makna terdiri atas jenis, macam, sifat, watak yang sama. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm 407. 14 Heterogen memiliki makna terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm 397.13