ARGUMENTASI-ARGUMENTASI TEOLOGIS 1 PETRUS TENTANG PENGALAMAN PENDERITAAN DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA - GEREJA DI INDONESIA ERA REFORMASI (1998-2007)

Main Author: FRITZ YOHANES DAE PANY
Other Authors: JUSAK TRIDARMANTO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2007
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSIPaul Budi Kleden menyatakan, masalah penderitaan adalah persoalan yang menggelisahkan umat manusia sepanjang zaman.1 Pernyataan tersebut nampaknya sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia sebelum dan setelah berdirinya sebagai Negara, sampai dengan saat ini. Sebelum Indonesia berdiri sebagai Negara, bangsa Indonesia mengalami penderitaan. Penderitaan itu, antara lain karena penindasan dan perlakuan sewenang-wenang bangsa lain: Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Setelah berdiri menjadi Negara, bangsa Indonesia juga mengalami penderitaan. Penderitaan tersebut antara lain disebabkan oleh perlakuan sewenang-wenang para pemimpin bangsa. Berikut ini adalah contoh peristiwaperistiwa yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah menjadi Negara. Peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sebelum berdiri menjadi Negara Indonesia, yang mengakibatkan penderitaan antara lain The Batavian Fury (1740),2 perang Diponegoro (1825-1830), perang puputan di Bali, perang Aceh dan perang Patimura. Banyak orang yang mati karena peristiwa-peristiwa tersebut. Banyak orang kehilangan suami, istri, dan anak yang mereka cintai. Banyak orang dipaksa untuk menuruti kemauan pihak lain, misalnya romusa atau sistem kerja rodi yang dipaksakan oleh pemerintah Jepang. Pengalaman penderitaan yang serupa juga dialami oleh sebagian atau sekelompok warga Negara Indonesia, di Negara Indonesia (negaranya sendiri). Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua contoh yang akan dikemukakan dalam periode reformasi ini (1998-2007), yaitu: pertama, tentang dilema yang dihadapi etnis Tionghoa di Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Shirley Lie.3 Etnis Tionghoa mengalami dilema karena dianggap sebagai orang asing di Indonesia, negerinya sendiri; senantiasa dicurigai; dan sering dijadikan kambing hitam dalam masalah-masalah sosial dan politik; sering diperlakukan dengan semena-mena (dibunuh, dirampok, dan diperkosa). Perlakuan yang diterima tersebut, mengakibatkan rasa duka yang mendalam dan mengkondisikan etnis Tionghoa Indonesia berada dalam dilema yang semakin dalam. Pemerintah berjanji untuk melindungi dan memberikan hak-hak kepada etnis Tionghoa Indonesia sebagai warga Negara Indonesia, khususnya penguasa-penguasa setelah Suharto.4 Akan tetapi, pada kenyataannya baik pemerintah ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya (etnis bukan-Tionghoa), menurut Shirley, tidak pernah mengakui dan menerima etnis Tionghoa Indonesia sebagai warga Negara yang kedudukannya sama dengan penduduk asli. Kedua, serangkaian peristiwa ledakan bom di malam Natal tahun 2000. Peristiwa itu terjadi ketika umat Kristen sedang merayakan Natal, tepatnya anggal 24 Desember 2000. Bom diledakkan disekitar gereja: di dalam gedung gereja, halaman, ataupun jalan disekitar gereja. Aritonang menyebut, sekurang-kurang ada 15 korban meninggal di samping banyak korban luka-luka dan korban material.5 Banyak pihak yang memberikan kecaman atas tindakan pengeboman tersebut, karena dipandang bahwa pengeboman tersebut merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Tindakan yang menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Dalam uraiannya tentang pemikiran M.M. Thomas, A.A. Yewangoe menyebutkan bahwa penderitaan merupakan sesuatu yang ada diantara masyarakat dalam bentuk kemiskinan, sebagai akibat dari struktur masyarakat yang tidak adil, yang menimbulkan situasi tertindas- penindas.6 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa sebagaimana tersebut di atas merupakan bentuk-bentuk pengalaman penderitaan. Gambaran peristiwa-peristiwa di atas melukiskan pengalaman penderitaan yang disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang, penindasan dan ketidak-adilan suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Meskipun demikian, pengalaman penderitaan tidak sematamata disebabkan oleh penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan. Ada banyak pengalaman penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam, misalnya bencana tsunamiyang melanda Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, banjir, meletusnya gunung merapi; dan sakit penyakit. Dengan kata lain, pengalaman penderitaan dapat disebabkan baik oleh bencana alam, maupun bencana sosial.7 Berbagai reaksi terhadap pengalaman penderitaan muncul. Ada yang melakukan perlawanan secara fisik, yaitu dengan peperangan. Ada yang mengecam pihak-pihak yang mengakibatkan penderitaan (penindas, pembunuh, pelaku perusakan dan perampokan). Ada yang mengungkapkan belasungkawa kepada para penderita. Ada yang memberikan sumbangan-sumbangan berupa dana dan tenaga untuk membangun kembali sarana-sarana fisik (berupa gedung-gedung ibadah atau pun rumah-rumah warga yang rusak akibat gempa dan tsunami) yang telah rusak. Ada juga yang hanya menangis dan terdiam, tidak tahu apa yang harus lakukan untuk mengatasi dukacitanya. Setelah reaksi-reaksi tersebut, jauh kemudian, orang mulai berpikir dan berusaha merangkai peristiwa itu dengan kepercayaannya yang spontan akan kebaikan dan imannya akan Allah.8