GERAKAN REKONSILIASI KORBAN 1965 SEBAGAI TANTANGAN ETIS-TEOLOGIS BAGI GEREJA

Main Author: YOGI HAPSORO
Other Authors: YAHYA WIJAYA,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG MASALAHDalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam konflik berkepanjangan di berbagai daerah, baik itu akibat isu sentimen agama, etnis maupun kepentingan-kepentingan politis yang seringkali tumpang tindih satu dengan yang lain. Ada begitu banyak kesedihan dan kehancuran yang dialami oleh masyarakat daerah konflik tersebut, baik dalam hal materi maupun non materi, contohnya seperti yang terjadi pada masyarakat keluarga korban tragedi 1965.1 Mereka harus kehilangan tempat tinggal, sebagian besar dari harta benda dan yang lebih parah lagi, mereka harus kehilangan anggota keluarga mereka dalam tragedi 1965. Tragedi 1965 adalah sebuah realita dari sejarah kelam bangsa Indonesia yang masih menjadi kontroversi dan penuh misteri. Berbagai versi muncul berkaitan dengan siapakah dalang peristiwa 19652 namun versi resmi Orde Baru yang telah memvonis PKI sebagai dalang satu-satunya di balik peristiwa 1965, masih terus membelenggu memori kolektif sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya bangsa ini terus terpenjara dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang sakit.Gagasan Rekonsiliasi untuk Korban 1965 sampai saat ini tidak mudah untuk dilakukan. Hambatan untuk merealisasikan rekonsiliasi tersebut adalah karena masih adanya pemahaman bahwa komunis itu ateis dan representasi dari semua hal yang jahat serta kejam. Pemahaman ini terbentuk di dalam masyarakat karena adanya semacamKorban peristiwa tragedi 1965 diperkirakan ratusan ribu yang tewas selam kurun waktu 1965-1966 ditambah dengan ribuan orang yang ditahan di kamp-kamp Tapol tanpa proses pengadilan. lih Olaf Schumann Agama-agama dan Rekonsiliasi dalam Einar M. Sitompul (Ed), Agama-Agama dan Rekonsiliasi Bidang Marturia-PGI Jakarta 2005 hlm 18-19 bdk Robert Cribb.(ed), The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa,2003. 2 Banyak sebutan dalam peristiwa 1965 yaitu Gestok (Gerakan Satu Oktober), G 30 S/PKI bdk Admadji Sumarkidjo, mendung diatas Istana Merdeka (Jakarta : Mitra Hardhasuma ) hlm 15-22.11stigmatisasi dan pengajaran yang dilakukan oleh rejim ORBA.3 Di samping itu, faktor budaya juga mempunyai peranan yang dominan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya yang terkesan menutup-nutupi masalah dan menyembunyikan masa lalu yang dianggap tidak baik. Hal ini menurut penulis dikarenakan dalam beberapa wacana rekonsiliasi di kalangan masyarakat Indonesia berkonotasi negatif karena berhubungan dengan adanya dendam masa lalu yang belum disembuhkan.4 Karena rekonsiliasi memberi prioritas kepada penderitaan korban sehingga menurut Wahid hal inidianggap oleh sebagian masyarakat memutarbalikkan fakta, membangkitkan dosa lama, mencuci tangan dari dosa sendiri dan memanfaatkan keadaan untuk membela diri.Pandangan di atas sebenarnya keliru karena rekonsiliasi dalam arti yang paling sederhana dapat diartikan sebagai pemulihan hubungan antar sesama manusia; perbuatan menyelesaikan perbedaan ; menetapkan perbedaan antara akun-akun yang berbeda agar tercapai kesepakatan.5 Sedangkan menurut Ismartono6 rekonsiliasi secara sederhana berarti upaya membangun kembali tatanan kehidupan yang telah rusak, menuju perdamaian dan kerukunan sejati dalam aras pembaharuan (transformasi). Bertolak dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan rekonsiliasi mengandung makna penyatuan dan pemulihan. Penyatuan dan pemulihan karena telah terjadi pemisahan atau rusaknya tatanan kebersamaan. Dengan demikian, rekonsiliasi lebih sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan dari apa yang telah rusak dan hancur.Lebih tajam Robert J. Schreiter menyebutkan bahwa rekonsiliasi adalah suatu hal yang sangat penting dalam relasi dengan sesama manusia.7 Menjadi sangat penting karena rekonsiliasi adalah wujud tanggung jawab manusia untuk merefleksikan anugerah keselamatan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Karena itu, dalam rekonsiliasiBudiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (Jakarta : Elsam, 2004), hlm 22-24. 4 Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi dengan Korban 1965 Kompas, Jumat, 01 Oktober 2004 5 Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta 2005 halaman 942 6 L. Ismartono Rekonsiliasi menurut Perspektif Katolik dalam A. Widyhadi Seputra, Rekonsiliasi Menciptakan Hidup Damai dan Sejahtera, Tinjauan Perspektif Religius, Komisi PSE/APP-KAJ LDD-KAJ: Jakarta 2002 hlm 79 7 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru (NTT : Nusa Indah 2000), hlm 47.32pertanyaannya bukan bagaimana saya sebagai korban mengampuni si pelaku, tetapi bagaimana saya menemukan rahmat Tuhan yang timbul dalam kehidupan sendiri dan kasih itu menuntun kemana.8Rekonsiliasi adalah wujud tanggung jawab seluruh manusia kepada sesamanya, sehingga hal ini menuntut keseriusan berpikir dan bertindak oleh manusia demi masa depan yang lebih baik dan luput dari tragedi kemanusiaan yang lain. Keseriusan berpikir dan bertindak dalam menghadapi permasalahan di atas, seharusnya juga dilakukan oleh Gereja. Mengapa? Pertama, karena Gereja merupakan bagian integral dari umat manusia (masyarakat). Kedua, karena rekonsiliasi merupakan hal mendasar dalam pewartaan iman Gereja bagi kehidupan umat manusia demi terwujudnya Kerajaan Allah di bumi. Ketiga, warta iman-keselamatan Gereja adalah keyakinan bahwa melalui karya penebusan Kristus, relasi-relasi (manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam) yang rusak akibat dosa, telah dipulihkan.9Konteks Gereja adalah masyarakat yang berada di sekitarnya termasuk segala permasalahan di dalam masyarakat. Sebagai kawan sekerja Allah, Gereja terpanggil untuk melayani konteksnya yaitu masyarakat dengan segala pergumulannya.10 Gereja Kristen Jawa (GKJ) sebagai salah satu Gereja yang mempunyai jemaat korban tragedi 1965, juga mengamini panggilannya untuk mewartakan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara sebagai wujud penyelamatan Allah kepada manusia.11 Dengan keterpanggilannya itu maka GKJ bersifat dinamis dalam berkarya sebagai kawan sekerja Allah. Di sinilah penulis melihat bahwa Gereja (secara khusus GKJ) harusnya memiliki peran dalam kehidupan masyarakat demi tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik.Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm.47 J. Muller, Kaum Religius Sebaiknya Cuci Tangan Terhadap Politik?, dalam Eduard Dopo Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 142. 10 Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke- 21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 24 - 28 11 Lih. Bab Penyelamatan Allah dalam Pokok-pokok Ajaran Gereja GKJ, (Salatiga: Sinode GKJ, Edisi 2005), hlm. 10-13983