MENGASIHI DALAM KONSEP "JEN" DARI KONFUSIANISME DAN DALAM PERJANJIAN BARU
Main Author: | ELIYA BERMANA SINUHAJI |
---|---|
Other Authors: | YAHYA WIJAYA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2009
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- BAB I PENDAHULUANI.1. Latar Belakang MasalahEtika merupakan refleksi atas moralitas. Akan tetapi, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika bukan sekedar refleksi tetapi refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk.1 Oleh karena itu, yang menjadi pusat penelitiannya bukan hanya prinsip-prinsip dan patokan-patokan moral semata, tetapi manusialah yang menjadi inti penelitiannya.2 Tetapi apakah yang menjadi dasar dalam meneliti manusia tersebut? Norma menjadi pegangan di dalam menilai tingkah laku ataupun moral dari manusia tersebut. Norma menjadi tolok ukur bagi setiap pengambilan keputusan etis. norma-norma yang dibentuk oleh masyarakat menjadi pembimbing bagi para pengikutnya untuk menjalankan kehidupan mereka dengan baik. Dan memang seringkali norma yang ada dibentuk dengan tujuan untuk mengatur kehidupan para anggota komunitasnya agar dapat berinteraksi dengan baik. Norma itu jugalah yang mengatur kehidupan moral di dalam mana masyarakat itu tinggal dan menetap.Etika bukanlah merupakan ilmu yang statis saja yang hanya berdiri sebagai satu-satunya ilmu yang meneliti tingkah laku atau sifat dari manusia. Dalam memahami ataupun meneliti suatu tingkah laku atau kebiaasaan di dalam masyarakat, etika juga membutuhkan dialog dengan disiplin ilmu yang lain demi memfokuskan diri terhadap penelitiannya tersebut. Begitu juga dengan apa yang seharusnya dilakukan di dalam etika sendiri. Suatu norma yang menjadi titik tolak ataupun pegangan dari para etikus untuk mengambil suatu keputusan etis untuk menilai baik-buruknya tingkah laku ataupun kebiasaan yang dinilai tersebut juga dapat dinilai berdasarkan pertemuan dialogal antara etika dengan ilmu-ilmu sekular.Akan tetapi, penulis melihat bahwa di dalam masyarakat sering terdapat kelompok-kelompok yang cenderung fanatik terhadap hukum-hukum yang ada pada mereka sehingga membentuk sikap moral yang tertutup. Norma-norma yang ada pada mereka tidak dapat diganggu-gugat danK. Bertens,ETIKA, (Jakarta, 2007), p.25 Verne H. Fletcher, LIHATLAH SANG MANUSIA! ; Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar, (Jakarta, 2007), p.20-212 11jika sampai dikritisi maka akan mendapatkan sangsi yang berat. Norma-norma yang dibentuk oleh kelompok tersebut seakan-akan menjadi lebih tinggi derajatnya daripada manusia-manusia yang membentuknya. Terlalu mengagungkan norma-norma yang ada di dalam masyarakat membuat suatu komunitas itu menjadi tertutup. Hal inilah yang menjadi perhatian dari penulis mengapa bisa terjadi hal yang demikian. Penulis melihat hal ini di berbagai daerah di Indonesia tidak jarang ditemukan kelompok-kelompok dengan moral tertutup. Biasanya kelompokkelompok dengan moral yang tertutup ini banyak terdapat pada kelompok-kelompok agama yang terkadang mengancam keutuhan umat beragama lain untuk berelasi dengan saudara-saudaranya yang berbeda keyakinan dengan mereka.Sebagai sebuah refleksi, etika tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang tertentu. Hal tersebut berlaku juga untuk Etika Kristen. Etika Kristen tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi dasar iman Kristiani. Meskipun demikian berdasarkan pengamatan sekilas, penulis melihat bahwa agaknya Etika Kristen tidaklah sedemikian berbeda dengan etika-etika lainnya sehingga tidak bisa didialogkan. Menurut Eka Darmaputera bahwa Etika Kristen, seharusnya terbuka dan dinamis bergerak dalam ruang maupun waktu oleh karena ia pertama-tama adalah etika.3 Kemudian Darmaputera menyarankan bahwa dalam melakukan analisa etisnya, etika Kristen harus merupakan interaksi antar disiplin ilmu dan selalu berorientasi kepada hal-hal yang konkret yang terjadi di dalam masyarakat.4 Etika Kristen harus terlibat aktif berdialog dengan etika lainnya untuk ikut memecahkan persoalan yang ada di dalam masyarakat.Jelas bahwa etika Kristen ada oleh karena diilhami.oleh asumsi-asumsi dasar iman Kristiani. Tetapi Etika Kristen ada dan terbuka untuk semua masing-masing etika dari agama lain maupun aliran etika lain. Namun seringkali etika Kekristenan cenderung bersikap eksklusif dan terkadang menjadi etika yang tertutup. Etika Kristen tidak lagi merupakan ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan etika-etika lain tetapi malah berubah menjadi suatu hukum yang kaku. Sering ada anggapan dari kalangan orang-orang Kristen bahwa etika yang tidak diilhami oleh iman Kristen dianggap tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi persoalan-persoalan etis yang terjadi di masyarakat. Bahkan seringkali etika Kristen dijadikan tameng oleh sebagian pengikutnya sebagai ajang untuk berdebat dengan etika agama-agama lain bukan untuk memberi saran pengambilan keputusan etis yang tepat berdasarkan asumsi-asumsi dasar imannya tetapi untuk membuktikan siapa yang paling benar.3 4Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk semua; perkenalan pertama, (Jakarta, 2001),p 96 Ibid, p.962Etika Kristen memiliki ciri khas yang khusus karena mendasarkan etikanya pada perelasian antara manusia dengan Allah penciptanya. Etika Kristen mengalami kekonkretannya dengan mengacu pada ajaran dan tingkah laku dari Yesus yang diimani sebagai Anak Allah yang membawa dan mengajarkan kasih Allah akan dunia ini. Dapat dikatakan etika Kristen merupakan etika yang teologis. Akibat ciri khasnya yang teologis seringkali etika Kristen hanya berjalan di awang-awang dan malah cenderung menjadi dogmatis dogmatis. Hal inilah yang mengakibatkan sulitnya berdialog dengan etika yang lain khususnya etika yang filosofis. Etika theologis sering dituduh lebih mendasarkan diri pada ajaran-ajaran moral yang kaku sehingga kurang menghargai kemanusiaan sementara etika filosofis dianggap terlalu rasional dan antroposentris dan mampu membawa peserta dialog menjadi atheis. Hal inilah yang menjadi perdebatan yang kadang tidak jelas arah dan tujuannya dan diakui sangat sulit untuk mendamaikan etika Kristen dengan etika yang filosofis.I.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal di atas, penulis ingin berupaya menjembatani perbedaan tersebut denganmenghadirkan suatu dialog antara etika Kristen dengan etika filosofis.Mengacu pada hasil dialog tersebut penulis berupaya untuk menggali kembali apa dan bagaimanakah sebetulnya etika kristen itu? Dapatkah etika Kristen berdialog dengan etika agama-agama lain di dalam usaha untuk memperkaya penghayatan akan imannya? Apakah dasar dari etika Kristen untuk memulai dialog dengan etika agama lain?Berdasarkan hal tersebut, penulis membuat suatu dialog yang konkret antara Etika Kristen dengan salah satu ajaran etika yang ada di dalam konteks hidup penulis yaitu konteks Asia. Menurut penulis Etika Kristen bukanlah satu-satunya ajaran etika yang ada di dunia Asia. Sebagai penduduk Asia, penulis menemukan ada berbagai macam ajaran etika tidak hanya dari agama-agama besar saja, namun juga dari ajaran para filsuf timur. Oleh karena itu penulis ingin mendialogkan etika Kristen dengan etika yang dianut oleh para filsuf timur tersebut dengan harapan untuk dapat memperkaya pemahaman etika Kristen akan refleksi atas moralitas . Namun hal ini tidak berarti ajaran etika dari filsuf timur itu harus ditelan mentah-mentah tetapi perlu didialogkan secara kritis demi mendapatkan dialektiksitas antara Etika Kristen dengan Etika Timur3