TINJAUAN FEMINIS ISLAM TERHADAP KONTROVERSI PRAKTEK POLIGAMI
Main Author: | RENA SESARIA YUDHITA |
---|---|
Other Authors: | DJAKA SOETAPA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2006
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSISecara etimologis, istilah poligami berasal dari dua kata Yunani yaitu kata (polus) yang berarti banyak dan kata (gamein) yang berarti kawin. Dari asal kata ini dapat dilihat bahwa definisi dari poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang laki-laki atau perempuan memiliki isteri atau suami lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Menurut tinjauan antropologi sosial (sosio antropologi) pengertian dari poligami adalah seorang laki laki kawin dengan banyak perempuan atau sebaliknya, perempuan kawin dengan banyak lakilaki. Menurut Bibit Suprapto, poligami dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu : a. Poliandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan. c. Gabungan antara poligini dan poliandri, dimana ada jumlah tertentu dari laki-laki menggauli jumlah tertentu dari perempuan sebagai suami isteri dengan hak yang diakui di antara mereka.1 Berdasar uraian diatas, istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali dipakai, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi kecuali di kalangan antropolog saja.2 Karenanya, istilah poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara lain yang memakai hukum Islam sebagai hukum negara. Kemudian, istilah poligami akhirnya menggantikan secara langsung istilah poligini. Berdasarkan hal ini, penyusun memutuskan bahwa setiap kata poligami yang digunakan dalam tulisan ini berarti poligini, perkawinan antara seorang lakilaki dengan beberapa perempuan3 dan bukan poliandri. Istilah lain yang digunakan di Indonesia untuk poligami adalah permaduan. Bermadu, di Jawa terkenal dengan nama wayuh. Suami dikatakan bermadu, sedangkan isteri dimadu. Antara masing-masing isteri yang dimadu disebut madu atau maru dalam Bahasa Jawa. Sebenarnya, kata maru tidak hanya dipergunakan untuk predikat antar masing-masing isteri yang dimadu, tetapi juga dipergunakan antara isteri dengan bekas isteri dari seorang laki-laki.4