TINJAUAN TERHADAP KEGIATAN PELAYANAN DAN KESAKSIAN GPIB "ATK" AMBARAWA DI TENGAH MASYARAKAT

Main Author: RIDWAN RAMONANGAN PURBA
Other Authors: EMMANUEL GERRIT SINGGIH,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUANA. PERMASALAHANA.1. Latar Belakang Masalah Memberitakan Injil dalam wacana kekristenanan dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab melanjutkan misi Kristus di tengah dunia. Pemahaman ini juga diperkuat dengan melihat tugas misi sebagai tugas pengutusan oleh Kristus. Tentunya hal ini akan menimbulkan suatu pertanyaan siapakah yang mengutus dan siapa yang diutus? David Bosch mendekati pertanyaan ini dengan menguraikan makna misi sebagai orang-orang yang diutus, oleh si pengutus dengan sebuah tugas pengutusan.1 Si pengutus diandaikan memiliki kuasa untuk mengutus. Berdasarkan hal ini, penulis memahami bahwa yang mengutus adalah Allah yang mempunyai kuasa yang pasti untuk menetapkan orang-orang yang diutus untuk melakukan kehendak-Nya. Persoalannya kemudian, apakah kehendak Allah itu?Yesus Kristus disalibkan dan mengorbankan nyawa-Nya sebagai bagian dari misi pembebasan Allah bagi manusia. Allah menghendaki Putra-Nya menjadi bagian dari misi-Nya untuk melakukan segala pekerjaan-Nya di bumi. Sebagaimana Allah menyatakan kasih-Nya dan segala kehendak-Nya terhadap Putera, demikian Yesus menyatakan kasih-Nya dan kehendak-Nya kepada manusia (Yohanes 15: 9-10), supaya setiap orang melakukan segala kehendak Bapa di Sorga (Yohanes 15: 12). Pengertian melakukan kehendak Bapa yang dikerjakan oleh Yesus dinyatakan dalam pengakuannya: Roh Tuhan ada padaKu oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang, (Lukas 4: 18-19).1David J. Bosch Transformasi Misi Kristen. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2005, hal. 2.1Pengakuan Yesus di atas memberikan implikasi yang sangat luas tentang kehendak Bapa yang dikerjakan-Nya. Bahwa misi pembebasan Yesus melingkupi seluruh bidang kehidupan manusia dan konteks kehidupannya. Oleh sebab itu misi pembebasan yang dilakukan Yesus adalah tanda kedatangan dan kehadiran kerajaan Allah di tengah dunia. Maka sebagaimana kehendak Bapa yang dikerjakan oleh Yesus lewat misi pembebasan itu, demikian juga keterlibatan manusia dibutuhkan dalam perspektif pengutusan Yesus terhadap para murid. Manusia perlu mengambil bagian dalam misi Allah bagi dunia yang mewujud dalam misi gereja dalam seluruh aspek kehidupan manusia di bidang: sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Berdasarkan pemikiran di atas, Gereja dipanggil dan diutus tidak pada ruang hampa, tetapi hadir pada suatu konteks masyarakat tertentu. Karena itu, panggilan misi harus bertitik tolak dari konteks masyarakat di mana gereja tinggal dan berada. Kemudian merefleksikan apa yang dikehandaki Bapa dan apa yang harus dikerjakan gereja. Untuk mempertajam pemikiran ini, dapat dilihat bahwa upaya misi terkait erat dengan upaya kontekstualisasi yakni membaca dan memahami konteks manusia dan pergumulannya, kemudian berupaya menemukan solusi sebagaimana yang Allah kehendaki. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa upaya melakukan misi seharusnya diikuti dengan upaya kontekstualisasi. Selaras dengan itu pula, apa yang dinyatakan oleh E. Gerrit Singgih tentang kontekstualisasi tampaknya dapat memperjelas wacana kontekstualisasi, bahwa: ... Kontekstualisasi adalah masalah Praxis, itu berarti berhubungan dengan masalah bagaimana orang kristen memahamai diri di dalam situasinya yang real dan konkret, supaya dengan demikian dan pada waktu yang sama, karyanya real dan konkret pula.2 Jika pernyataan Singgih ini dikaitkan dengan misi, maka upaya-upaya misi kristen seharusnya memiliki akar konteks yang jelas sehingga misi kristen benar-benar menjawab konteks kebutuhan manusia. Paragaraf di atas dengan jelas membangun suatu asumsi bahwa misi seharusnya memahami konteks masyarakat di mana gereja berada sehingga dapat melakukan kehendak Bapa dengan karya yang real dan konkret. Selaras dengan itu pula, gerejagereja yang hadir di Indonesia perlu memahami konteks masyarakat Indonesia sehingga mampu melakukan misi yang kontekstual.2E. Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982. hal. 192