KERUSAKAN HUTAN PURWODADI MALANG SELATAN SEBAGAI TANTANGAN ETIS TEOLOGIS BAGI GEREJA

Main Author: EKO ADI KUSTANTO
Other Authors: PAULUS SUGENG WIDJAJA,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2006
Subjects:
Daftar Isi:
  • ABSTRAKSIKerusakan hutan di Indonesia saat ini dalam tahap yang sangat memprihatinkan. Longgena Ginting eksekutif nasional WALHI menyebutkan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti dalam satu menit ada 7,2 hektar hutan yang mengalami kerusakan. Sementara itu, pendataan yang dilakukan oleh World Resource Institute (sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat) pada tahun 1997, menyebutkan kerusakan hutan di Indonesia sudah pada tahap kritis. Sebanyak 72% dari 130 juta hektar luas hutan asli di Indonesia telah hilang.1 Parahnya kerusakan hutan di Indonesia terlihat dari rusaknya hutan di berbagai wilayah di Indonesia. Kerusakan hutan terjadi bukan hanya di luar pulau Jawa. Hutan di pulau Jawa juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Jawa Timur misalnya, laju kerusakan hutan di Jawa Timur saat ini melesat cepat. Dari total jumlah kawasan hutan di Jawa Timur seluas 1.357.206,3 hektar telah rusak seluas 700.000 hektar (65 %).2 Artinya bahwa saat ini luas hutan yang tersisa di wilayah Jawa Timur hanya 35 % dari luas hutan keseluruhan. Jumlah ini akan terus berkurang jika masih ada penebangan hutan yang dilakukan di Jawa Timur. Akibat dari kerusakan hutan di Jawa Timur adalah dengan munculnya berbagai bencana alam di berbagai wilayah di Jawa Timur. Salah satu contoh adalah bencana banjir bandang di Wanawisata Padusan, Pacet, Kabupaten Mojokerto pada tahun 2002. Bencana ini menelan korban puluhan orang meninggal dunia, puluhan orang terluka dan bahkan beberapa orang hilang. Penyebab utama kerusakan hutan adalah kebakaran hutan di DAS (Daerah Aliran sungai) Dawuhan (Gunung Welirang).3 Selain banjir bandang dan tanah longsor, kerusakan hutan di Jawa Timur juga menimbulkan bencana kekeringan. Dari pantauan WALHI Jatim dilaporkan bahwa sedikitnya 20 daerah di Jatim terancam bahaya kekeringan pada setiap musim kemarau (antara bulan Januari Agustus). Bahaya kekeringan ini mengakibatkan lebih dari 23.000 hektar lahan pertanian mengalami kekeringan dan sedikitnya 4.000 hektar lahan pertanian mengalami gagal panen.4 Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].5 Bencana banjir dan tanah longsor juga terjadi di wilayah Malang Selatan. Bencana banjir terbesar di Malang Selatan terjadi pada tanggal 22 24 November 2003 yang melanda desa Tambakrejo, Sitiarjo, Pujiarjo dan Purwodadi.6 Bencana tersebut telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur jalan dan pemukiman penduduk serta fasilitasfasilitas umum lainnya. Bencana banjir bukan hanya terjadi pada saat itu saja, hampir setiap musim penghujan di desa Tambakrejo, Sitiarjo, Pujiarjo dan Purwodadi selalu mengalami ancaman banjir dan tanah longsor. Sementara pada musim kemarau desadesa tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kerusakan hutan adalah salah satu bentuk adanya krisis lingkungan hidup. Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Penyebab krisis lingkungan adalah perbuatan manusia dalam mengelola alam. Sebagai contoh, kerusakan hutan yang terjadi di Malang Selatan adalah akibat penduduk sekitar hutan yang menebangi hutan itu. Krisis lingkungan akibat ulah manusia menurut William Chang menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup secara bertanggung jawab belum membudaya.7 Lebih tajam Robert P. Borong menyebutkan bahwa krisis lingkungan terjadi karena manusia dalam mengelola sumber-sumber alam hampir tidak mempedulikan peran etika.8 Kerusakan hutan sebagai salah satu bentuk krisis lingkungan menuntut keseriusan berpikir dan bertindak oleh manusia demi masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan. Keseriusan berpikir dan bertindak dalam menghadapi permasalahan kerusakan hutan, seharusnya juga dilakukan oleh gereja. Gereja sebagai bagian masyarakat, terpanggil untuk mewartakan imannya dalam kehidupan umat manusia demi terwujudnya Kerajaan Allah di bumi. Dengan kata lain, gereja sebagai bagian dari masyarakat tidak pernah terlepas dari segalapermasalahan yang berada dalam masyarakat. Konteks gereja adalah masyarakat yang berada disekitarnya termasuk segala permasalahan di dalam masyarakat. Sebagai kawan sekerja Allah, gereja terpanggil untuk melayani konteksnya yaitu masyarakat dengan segala pergumulannya.9 Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) sebagai salah satu gereja yang berada di Jawa Timur juga mengamini panggilannya untuk mewartakan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara.10 Dengan keterpanggilannya itu maka GKJW bersifat dinamis dalam berkarya sebagai kawan sekerja Allah. Di sinilah penyusun melihat bahwa gereja (secara khusus GKJW) harusnya memiliki peran dalam kehidupan masyarakat demi tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik.