KETERLIBATAN PENDETA DALAM PARTAI POLITIK Suatu Tinjauan Etika Profesi Kependetaan
Main Author: | YOHANES EKO PRASETYO |
---|---|
Other Authors: | YAHYA WIJAYA, |
Format: | Bachelors |
Terbitan: |
SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta
, 2007
|
Subjects: |
Daftar Isi:
- ABSTRAKSIPeristiwa penting dalam kehidupan politik1 di Indonesia terjadi pada tanggal 21 Mei 19982. Pergantian kepemimpinan nasional dalam era reformasi mengagendakan perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan penting yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat paket kebijakan politik yang berisi perubahan peraturan perundang-undangan tentang kepartaian, pemerintahan daerah, susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR dan DPRD beserta aturan pelaksanaannya yang membuka suasana kehidupan politik yang baru. Paket kebijakan politik ini telah menciptakan suasana yang berbeda dibandingkan pada masa Orde Baru yang menerapkan deparpolisasi, depolitisasi dan floating mass3 serta sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang menyebabkan rakyat teralienasi atau terpinggirkan dari kehidupan politik. Perubahan terus bergulir dalam semangat reformasi terutama dalam kehidupan politik dan diupayakan untuk menuju reformasi total, yaitu reformasi yang otentik, yaitu reformasi yang datang dari hati nurani. Reformasi ini akan dapat menghasilkan kemampuan yang bersih yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk4 sehingga reformasi yang dilakukan dalam segala bidang tidak keluar dari cita-cita perjuangan reformasi. Dengan reformasi seperti ini diharapkan kehidupan politik di Indonesia akan semakin baik. Di tengah upaya bangsa Indonesia melakukan perubahan di segala bidang terutama politik, muncul fenomena menarik yaitu maraknya para Pendeta yang terjun ke politik praktis khususnya partai politik. Hal ini secara khusus dapat di lihat pada Pemilu 2004, dari daftar calon legislatif untuk DPR yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu paling tidak ada sekitar 20 orang Pendeta5. Tampilnya para Pendeta dalam arakarakan partai politik bukanlah hal baru. Pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, kita mengenal Basoeki Probowinoto, seorang Pendeta Jemaat Gereja Jawa adalah salah seorang anggota KNIP (Parlemen Sementara Republik Indonesia) dan pemrakarsa berdirinya Partai Kristen Indonesia (Parkindo)6. Bagi Probowinoto, orang Kristen harus memperjuangkan kehormatan Tuhan di segala bidang hidup, termasuk juga dan malahan di bidang politik. Panggilan Pendeta bukan hanya melayani jemaat. Sebagai warga negara yang beragama Kristen ia bertanggungjawab di hadapan Tuhan tentang baik buruknya pemerintah di dalam negaranya. Maka selain masalah pelayanan, pengetahuan tentang negara, pengetahuan tentang teori pemerintahan, kebijaksanaan, ketangkasan, pengalaman dan kecerdasan, harus dimiliki oleh Pendeta. Keterlibatan Pendeta dalam partai politik juga merupakan upaya menghadirkan tandatanda Kerajaan Allah sebagai garam dan terang dunia seperti yang dikatakan Tuhan Yesus Kristus dalam Matius 5:13-14. Untuk melaksanakan misi tersebut sudah saatnya Pendeta keluar dari komunitasnya sendiri, tampil dan berperan aktif dengan masuk dalam pusaran kekuasaan. Diharapkan dengan kehadiran pendeta dalam struktur kekuasaan ini, gaung akan terdengar lebih kuat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh umat kebanyakan yang terjun ke politik. Oleh karena itu profesi sebagai pendeta tidak menghalangi untuk berkiprah dalam perjuangan masyarakat dalam partai politik. Di samping pendapat yang mendukung keterlibatan pendeta dalam partai politik, ada juga yang kurang setuju. Salah satu pergumulan yang menjadi perdebatan adalah mengenai pemahaman tentang panggilan7. Pendeta sebagai pelayan dipersoalkan kehadirannya atau keikutsertaannya dalam partai politik. Fungsi Pendeta dipahami sebagai gembala dan hamba Tuhan yang melayanai jemaat, dalam bahasa Alan Stibbs8 fungsi pelayan atau pendeta yang diberikan Kristus yang naik ke surga adalah: mereka merupakan para hamba untuk melayani para pengikutnya, untuk memperlengkapi orang-orang kudus Allah dalam pekerjaan pelayanan demi membangun tubuh Kristus. Pertimbangan lain yang kurang setuju adalah pandangan bahwa politik itu kotor, seni berkompromi sehingga orang cenderung mencari rasa aman danselamat. Oleh karena itu, profesi Pendeta yang bertugas menjaga kekudusan dan kesucian hidup umat Tuhan sebaiknya menjauhkan diri dari kehidupan politik yang mengedepankan intrik-intrik licik dan penuh tipu muslihat dan tidak jarang pula mengabaikan moral dan etika. Profesi Pendeta bukanlah jabatan yang diupayakan untuk memperoleh popularitas apalagi kekuasaan.