TAFSIR SOSIOLOGIS-FEMINIS PENINDASAN HAGAR

Main Author: DARMAWASIH
Other Authors: EMMANUEL GERRIT SINGGIH,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2008
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUANI. 1. Permasalahan Perempuan sudah lama menjadi sorotan meski baru dalam tahun-tahun terakhir lebih gencar diperhatikan, khususnya di Indonesia. Pandangan perempuan sebagai yang lain atau manusia yang ke dua membuat perempuan dalam banyak masyarakat mengalami berbagai ketidakadilan, baik dalam lingkup publik maupun domestik. Ketidakadilan dalam ranah publik bisa terjadi di tempat kerja seperti perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik maupun institusi pemerintah yang menerima mereka sebagai karyawan, sedangkan ketidakadilan dalam ranah domestik bisa diterima perempuan dari kalangan keluarga mereka sendiri dan dari majikan yang menggaji mereka, jika mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Sayangnya, ketidakadilan-ketidakadilan termasuk kekerasan demi kekerasan yang dialami para perempuan, khususnya para PRT seringkali belum begitu dilihat sebagai sesuatu yang sangat memprihatinkan dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini makin langgeng karena dalam pekerjaan ini, para PRT dibuat seolah-olah tidak berhak atas tubuhnya dan menjadi milik majikan mereka. Tempat terjadinya ketidakadilan yang berada di wilayah private dan tersembunyi juga mempersulit pengungkapan kasus-kasus kekerasan tersebut. Kecuali kekerasan yang terjadi benar-benar parah dan memberikan bukti yang tak terelakkan, seperti bekas-bekas penyiksaan hingga kematian. Dalam banyak wacana feminis, para feminis ini banyak yang yakin bahwa ketidakadilan yang dialami perempuan sangat dimungkinkan terjadi dalam sebuah budaya patriarkh. Dalam budaya ini laki-laki menjadi manusia yang senantiasa diperhatikan dan yang utama, menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan dapat dieksploitasi untuk kepentingan para laki-laki. Laki-laki sebagai penguasa memberinya ruang untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, bahkan dalam menentukan nasib yang lain atau yang ke dua tersebut 1 . Pemerkosaan para PRT oleh majikan laki-laki mereka memperlihatkan kekuasaan laki-laki yang sangat besar, sebab jika PRT melaporkan perbuatan majikan laki-laki mereka kepada nyonyanya, mereka bukannya mendapatkan pembelaan, malah disalahkan dan dipulangkan ke tanah air tanpa1Goenawan Moh, catatan pinggir Gandhari, Tempo, 7 Januari 2007, p. 114tindakan hukum terhadap laki-laki yang telah menidurinya dengan paksa. Masyarakat Indonesia maupun Malaysia (sebagai negara yang banyak dituju para PRT) seolah-olah sepakat bahwa yang utama dalam kehidupan manusia adalah laki-laki dan segala kepentingannya, sehingga mengorbankan para PRT demi menyelamatkan laki-laki di rumah mereka tampaknya bukan sesuatu yang janggal. Harus diakui bahwa perempuan memang masih menjadi manusia yang tidak beruntung di dalam masyarakat. Ketidakberuntungan perempuan, terlebih perempuan miskin dijelaskan oleh Loekman Soetrisno sebagai berikut: ketidakberuntungan yang pada umumnya orang miskin saja sudah memiliki 5 mereka mudah mendapatkan ketidakadilan.membuatKetidakberuntungan tersebut adalah: (1) kemiskinan (poverty); (2) kelemahan secara fisik (physical weakness); (3) kerentanan (vulnerability); (4) keterisolasian (isolation); dan (5) ketidakberdayaan (powerlessness) 2 . Kelima ketidakberuntungan yang dimiliki oleh orang miskin itu, bagi para perempuan masih harus bertambah dengan masalah ketidakadilan gender yang diterima dari masyarakat yaitu karena dia berjenis kelamin perempuan. Dalam masyarakatpun ini dapat dengan mudah dilihat, bahwa seorang laki-laki sekalipun miskin masih lebih beruntung dan masih lebih berharga daripada perempuan dari keluarga yang sama. Paling tidak di rumah tangganya, dia masih lebih dihargai sebagai kepala keluarga, sehingga jarang sekali mengalami kekerasan fisik maupun psikis dari masyarakat dan keluarga. Tetapi apakah kekerasan atau ketidakadilan yang dialami para perempuan ini selalu saja pelakunya laki-laki? Pertanyaan ini penting, mengingat seringkali laki-laki dijadikan biang keladi penderitaan para perempuan. Dalam banyak kasus yang terjadi pada para pekerja rumah tangga, ironisnya, perempuan yang memiliki kuasa lebih dibandingkan dengan perempuan lain, turut di dalam memperbanyak jumlah ketidakadilan dan kekerasan yang diterima sesamanya perempuan. Penyusun melihat bahwa dalam budaya yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, sekalipun sama-sama perempuan, perempuan miskin yang secara ekonomi tergantung kepada seseorang lebih banyak memiliki kemungkinan mengalami kekerasan dibandingkan para perempuan yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu di dalam hidupnya. Tetapi kecurigaan penyusun adalah hal-hal sosial yang ada di balik penindasan perempuan, baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan, tampaknya memiliki muatan2Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan & Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1997. p. 18ketidakadilan gender yang menjadi faktor pendorong terjadinya berbagai kekerasan dan penindasan ini. Indonesia sendiri sebagai negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang parah memperlihatkan dalam kehidupan bermasyarakat masih sangat banyak berbagai bentuk penindasan yang dialami perempuan. Terlebih-lebih perempuan yang bekerja dalam ranah domestik, dimana kebanyakan dari mereka datang dari keluarga miskin. Dalam banyak kasus yang dimiliki oleh para PRT, para PRT ini seringkali mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Kekerasan yang dialami mereka tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik dan psikis secara umum tetapi juga banyak di antara mereka mengalami kekerasan seksual dari majikannya yang membuat PRT ini kemudian merasa malu dan jijik pada tubuhnya sendiri. Hal seperti ini beberapa kali diungkap oleh media massa atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun kemudian sangat jarang menjadi perhatian khusus berbagai kalangan. Gereja sebagai bagian dari masyarakat sepertinya juga tidak menunjukkan reaksi yang signifikan melihat ketidakadilan yang terjadi pada PRT ini. Keadaan para PRT Indonesia yang berada di luar negeri dan mengalami banyak ketidakadilan hingga pengusiran tanpa hak-hak yang seharusnya mereka terima, mengingatkan penyusun pada kisah Hagar yang ada dalam Kejadian 16:1-16 dan 21:8-21. Cerita tentang Hagar dan Sarai di dalam kedua teks tersebut merupakan bagian dari cerita tentang janji TUHAN kepada Abram tentang berkat dan keturunan, yang pertama kali dimaklumkan kepada Abram di dalam Kej. 12:1-3. Pembaca tahu bahwa Sarai mandul (Kej. 11:30) tetapi janji itu berulang kali disampaikan TUHAN kepada Abram membuat Sarai yang mandul mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Sesuai dengan adat istiadat dan hukum keluarga yang berlaku saat itu, Hagar sebagai hamba perempuan yang berada di bawah kekuasaan Sarai, dijadikan jawaban atas persoalan Abram dan Sarai yaitu dengan memberikan Hagar kepada Abram untuk membangun keibuan Sarai. Kedua teks ini memang cukup banyak ditafsirkan, tetapi penafsiran yang memakai perspektif laki-laki tentu kurang melihat suara dari perempuan-perempuan yang diceritakan di dalam teks, sehingga pengalaman Hagar yang tampaknya mengalami pemanfaatan, kekejaman, dan penolakan 3 diabaikan, bahkan dianggap nada minor dalam keluarga Abram. Bahkan terkadang, Hagar didudukkan sebagai perempuan yang memiliki karakter negatif, karena3John L. Thompson, Hagar, Victim or Villain? dalam The Catholic Biblical Quarterly no. 59, 1997, p. 213memandang rendah nyonyanya setelah dia mengandung tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial masyarakat di balik sikap Hagar yang berubah sikap dan memandang nyonyanya rendah. Padahal jika memperhatikan kehidupan Hagar sebagai perempuan yang tidak hanya miskin, bahkan juga tidak memiliki kemerdekaan karena kedudukannya sebagai seorang hamba perempuan Sarai sangatlah memprihatinkan. Hagar yang di dalam masyarakat merupakan perempuan yang tidak diperhitungkan, banyak mengalami kesulitan, kekerasan, dan ketidakadilan dari Sarai, nyonyanya. Menurut hemat penyusun, meski Hagar bukan siapa-siapa di dalam masyarakatnya, tetapi dia tidak sepatutnya mengalami perlakuan seburuk seperti yang diterimanya dari Sarai, TUHAN dan Abram. Penyimpangan hukum masyarakat yang dilakukan oleh Sarai, Allah dan Abram pada akhirnya mengantar Hagar dan Ismael ke ambang kematian di padang gurun (Kej. 21:15,16). Penindasan yang dialami oleh Hagar bermula dari pandangan masyarakat tentang keturunan (Toledot) yang sangat erat hubungannya dengan hak kesulungan (bekhorah) dan Berkat (berakhah). 4 Meskipun J. P. Fokkelman melihatnya dari sudut pandang sastra, tetapi jelas terlihat bahwa keberadaan seorang anak sangat penting dalam kehidupan masyarakat Israel kuno. Berkat dan janji TUHAN pada suatu keluarga akan sia-sia jika tidak ada prokreasi yang terjadi. Hal ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kodrat untuk melahirkan. Perempuan menjadi manusia yang sangat penting peranannya di dalam kelangsungan keturunan dalam suatu keluarga. Ketidakmampuan berprokreasi bagi seorang perempuan menjadi masalah yang sangat besar karena dua alasan yaitu bahwa memiliki anak, khususnya anak laki-laki, merupakan pokok penting dalam kebudayaan Israel 5 dan tidak memiliki anak dalam masyarakat patriakal sama saja dengan kehilangan status 6 . Status bagi seorang perempuan Israel kuno seperti Sara, dapat datang dari dua hal yang istimewa yang dia miliki. Keistimewaan ini terkait dengan segala urusan di dalam rumah tangganya. Pertama adalah statusnya sebagai seorang istri dari seorang yang kaya, Sarai menjadi kepala dari istri-istri yang lain, namun kemungkinan Sarai adalah satu-satunya istri legal Abram. Dan yang ke dua adalah sesuatu yang merupakan konsekuensi dari yang pertama, bahwa anak laki-lakinya akanJ. P. Fokkelman, Genesis dalam Robert Alter dan Frank Kermode (eds.), The Literary Guide to the Bible. Chambridge: Harvard University, 1987, p. 42 5 Katharine Doob Sakenfeld, Just Wives: Stories of Power and Survival in the Old Testament and Today, Louisville: Westminster John Knox Press, 2003. p.7 6 J. Cheryl Exum, Mother in Israel: A Familiar Figure Reconsidered, dalam Lettv M. Russel (ed.), Feminist Interpretation of the Bible, NewYork: Page Bross Ltd, 1985, p. 114menjadi ahli waris Abraham. Tetapi Sarai tidak memiliki anak, apalagi anak laki-laki, dan oleh karena itu statusnya menjadi lemah dan masyarakat bisa saja menekannya dan menghilangkan status itu sampai dia dapat melahirkan seorang anak laki-laki, 7 atau memberikan perempuan lain kepada Abram, sehingga Abram memiliki ahli waris hasil hubungannya dengan seorang perempuan. Sangat mungkin pola budaya inilah yang membuat Sarai memberikan Hagar kepada Abram. Sebagai seorang budak, Hagar tinggal di rumah Abraham untuk melayani Sarai, sehingga status Hagar bergantung kepada Sarai, nyonyanya, istri Abram 8 . Diceritakan, setelah mereka tinggal bersama-sama di Kanaan selama 10 tahun, Abram dan Sarai telah lanjut usia. Meskipun telah lanjut usia, tetapi Sarai tidak beranak (16:1) dan tampak putus asa karena fungsi terpentingnya sebagai istri yaitu melahirkan seorang anak tidak dapat dia lakukan 9 sehingga dia memutuskan untuk memberikan Hagar kepada Abraham dan berharap supaya melalui Hagar dia dapat memperoleh seorang anak (16:2). 10 Sarai di masa tuanya akhirnya menyuruh Abram untuk menghampiri Hagar supaya Hagar memberikan keturunan bagi Abram. Keturunan yang dipahami Sarai dan Abram sebagai penggenapan janji TUHAN kepada Abraham yang kelak menjadi Bapa segala bangsa. Sarai berpendapat bahwa garis keturunan Abram mungkin tidak lahir melalui dirinya. Abram ternyata mendengar, menyetujui rencana Sara. Ia menghampiri Hagar dan membuatnya mengandung seorang anak. Tidur dengan tuan rumah dan kemudian mengandung, bagi seorang hamba seperti Hagar bisa jadi merupakan suatu kehormatan yang besar yang untuk pertama kalinya akan membuat Hagar memiliki status di dalam masyarakat karena anak laki-lakinya akan menjadi ahli waris Abram 11 . Kemungkinan besar pandangan masyarakat tentang anak inilah yang kemudian membuat Hagar memandang rendah Sarai dan Sarai tidak terima dengan perlakuan Hagar itu kepadanya. Kemudian penindasan berikutnya dialami Hagar ketika Sarai melihat anaknya, Ishak bermain dengan Ismael. Lalu, persoalan itu merembet pada masalah hak ahli waris yang juga seperti masalah keturunan tadi, merupakan hal yang sangat penting juga di dalam masyarakat. Kedua7Jo Ann Hackett, Rehabilitating Hagar: Fragments of An Epic Pattern, dalam Peggy L. Day ( ed.), Gender and Difference in Ancient Israel, Minneapolis: Fortress Press, 1989, p. 13 8 Susan Niditch, Genesis dalam Carol A. Newson dan Sharon H. Ringe (eds.), The Women Bible Commentary, Louisville: Westminster John Knox Press, 1992, p. 17 9 Rulon Miller, Hagar: A Woman with an Attitude dalam Philips R. Davis dan David J. A. Clines (eds.), The World of Genesis, England: Sheffield Academic Press ltd, 1998, p.72 10 J. Cheryl Exum, Mother in Israel: A Familiar Figure Reconsidered, p. 13 11 Jo Ann Hackett, Rehabilitating Hagar: Fragments of An Epic Pattern, p. 13alasan itu menjadi dasar penindasan yang dialami Hagar sebagai perempuan yang posisinya lemah di dalam keluarga dan masyarakat. Kedudukan Hagar yang tidak sejajar dengan Sarai sangat mungkin membuat Hagar tidak bisa mengadakan perlawanan. Apalagi setelah Abram menyerahkannya di bawah kekuasaan Sarai. Di sini terjadi pola Polycoity yakni istri sah memiliki kekuasaan lebih dibandingkan istri ke dua. 12 Sarai mendapatkan kekuasaan domestiknya dari Abram, sehingga ia leluasa menindas Hagar. Dengan posisi yang lebih rendah, Hagar dikembalikan ke posisinya (Kej. 16:6) bahkan menjadi wanita tuna wisma, teraniaya dan orangtua tunggal bagi anaknya (Kej. 21:14). 13 Miller mengungkapkan ini sebagai sesuatu yang sangat menyedihkan dimana Hagar mengalami pengasingan karena ditindas oleh Sarai dan lebih dari itu, TUHAN berada di pihak Sarai dan turut mendukung penindasan yang dialami Hagar. Dari uraian di atas, penyusun merumuskan permasalahan dalam teks Kejadian 16:1-16 dan 21:8-21 ini sebagai berikut: Faktor-faktor sosial masyarakat seperti apakah yang mendorong terjadinya penindasan terhadap Hagar? Adakah hukum masyarakat yang dilanggar oleh Sarai, Abram dan TUHAN yang memperparah keadaan Hagar sebagai seorang hamba perempuan? Apakah makna teks ini bagi kehidupan penyusun saat ini?12 13Katharine Doob Sakenfeld, Just Wives: Stories of Power and Survival in the Old Testament and Today, p. 7 Rulon Miller, Hagar: A Woman with an Attitude , p.60