TELAAH ATAS UPAYA GERRITSINGGIH MENYUSUS TAFSIRAN ALKITAB YANG KONTEKSTUAL INDONESIA DALAM BUKU TAFSIRAN KITAB PENGKOTBAH

Main Author: RAYMOND ROMBE BUNGIN
Other Authors: ROBERT SETIO,
Format: Bachelors
Terbitan: SInTA - Unit Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta , 2009
Subjects:
Daftar Isi:
  • BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Dalam tulisannya yang berjudul Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia1, Eka Darmaputera memaparkan tentang pentingnya teologi kontekstual dengan bertolak dari keprihatinan pastoral. Mula-mula ia memaparkan hasil pengamatannya bahwa pemimpin-pemimpin jemaat dari gereja-gereja arus tengah di Indonesia, dewasa ini berada di dalam keadaan cemas dan resah akibat munculnya dua kelompok: gerakan Pentakosta Baru/Kharismatik dan gerakan-gerakan yang menamakan diri Injili. Kedua kelompok ini menganut strategi proselitisme ke dalam, artinya, beroperasi di kalangan orang-orang yang telah menjadi anggota gereja tertentu pada tingkat grass-root.2Eka Darmaputera kemudian mencoba melihat persoalan ini dengan lebih seksama. Ia menemukan bahwa pokok persoalan ini terkait erat dengan hal pembinaan teologi yang diberikan gereja selama ini tidak dapat memenuhi/mencukupi kebutuhan-kebutuhan (teologis) jemaat. Menurut Eka, adanya warga jemaat yang berpaling ke kelompok-kelompok tersebut bukan karena gereja tidak memberikan pembinaan teologi, melainkan karena pembinaan teologi yang selama ini diberikan gereja tidak terlampau relevan dengan kenyataan hidup mereka, tidak kontekstual, dan oleh karena itu tidak fungsional.3 Demikianlah, dari hasil wawancaranya dengan beberapa warga jemaat yang berpaling ke kelompok-kelompok tersebut, Eka menyimpulkan bahwa sebenarnya warga jemaat mempunyai suatu kebutuhan. Kebutuhan itu tidak lain adalah sebuah teologi yang kontekstual.4Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK GM, 1988), hlm. 3-19 2 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 3 3 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 6. 4 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 5-6. Sekalipun dalam kelompok-kelompok tersebut (gerakan Pentakosta Baru/Kharismatik dan gerakan-gerakan yang menamakan diri Injili) warga jemaat merasa kebutuhannya telah terpenuhi, tampaknya Eka tidak mengakui kelompok-kelompok tersebut telah mengupayakan sebuah teologi yang kontekstual. Bahwa banyak warga jemaat menyukai dan menarik manfaat dari hal-hal yang ada dalam kelompok-kelompok tersebut bukan berarti itu merupakan alternatif yang tepat melainkan karena tidak ada alternatif lain yang lebih baik., demikian kata Eka.12 Menurut penulis apa yang dikemukakan Eka merupakan alasan mendasar mengapa mengupayakan teologi kontekstual itu penting. Mungkin ada berbagai alasan lain yang bisa diajukan, tetapi penulis cenderung berpendapat bahwa pada akhirnya mengupayakan teologi kontekstual berkaitan erat dengan upaya merespon secara sungguh-sungguh keprihatinan pastoral yang ada.5 Ini didasarkan pada pemahaman bahwa teologi itu bertolak dari iman dan bahwa iman itu tidak bisa dilepaskan dari komunitas (jemaat/gereja).6 Dalam hal ini teologi akademis yang hanya sibuk dengan masalah keilmuan dan mengabaikan pergumulan-pergumulan jemaat patut dikritisi. Teologi kontekstual bukan semata-mata berarti mengupayakan teologi yang mutakhir, yang sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi terutama untuk menjawab kebutuhan jemaat di dalam konteksnya.Keberadaan teologi seharusnya tidak terpisahkan dari keberadaan jemaat/gereja. Teologi ada pertama-tama untuk menolong jemaat/gereja memahami keberadaan diri mereka di tengah-tengah konteksnya.7 Dengan kata lain, seharusnya teologi tidak boleh berhenti pada masalah keilmuan. Lebih jauh, seharusnya teologi memperhatikan aspek-aspek pastoral juga. Itulah yang membuat teologi relevan.8 Upaya penyusunan teologi yang kontekstual (upaya kontekstualisasi teologi), yang relevan dengan kenyataan hidup, dan karena itu yang fungsional masih tetap5 Bnd. pandangan E.G. Singgih bahwa dalam periode (teologi) akademis-kontekstual segi pastoral seharusnya menjiwai semua bidang dalam ilmu teologi. Lihat E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK GM, 2000), hlm. 144. Singgih membedakan tiga periode teologi: periode pra-akademis (tekanannya adalah pencetakan pendeta-pendeta siap pakai, yang bisa membimbing warga Gereja menghadapi bahaya-bahaya yang mengancam. Mata kuliah yang merupakan prima donna adalah Dogmatik.), periode akademis (menekankan pada segi akademis. Dalam periode ini teologi biasanya terbagi atas teologi jemaat [yakni refleksi yang berasal dan berlaku di kalangan jemaat] dan teologi akademis [beredar di kalangan lembaga-lembaga pendidikan teologi]. Mata kuliah yang merupakan prima donna adalah Biblika.) dan periode akademis-kontekstual (Dalam periode ini, orang menyadari bahwa teologi itu bukan saja harus akademis, melainkan juga kontekstual, dalam arti mendarat pada konteks lokal atau setempat. Dalam periode ini teologi jemaat mendapat tempat yang penting. Mata kuliah yang merupakan prima donna adalah Teologi Pastoral.) 6 Meminjam diktum Anselmus yang terkenal, teologi dipahami sebagai iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum). Daniel L. Migliore mengatakan bahwa pada hakikatnya teologi Kristen muncul dari dan berhubungan erat dengan sebuah komunitas iman tertentu (a particular community of faith). Lihat Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1991), xi-xii 7 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK GM, 1991), hlm. 30. Judul asli: Constructing Local Theology, (New York: Orbis Books, 1985) 8 Apa yang dikatakan Eka patut diperhatikan. Yang penting untuk dicatat di sini adalah, bahwa yang saya maksudkan dengan relevan bukanlah sekedar sesuatu yang mempunyai nilai teknis-pragmatis. Sebab bila nilai teknis-pragmatis saja yang menjadi ukuran, ia dapat menjerumuskan kita kepada sikap oportunisme yang tanpa prinsip. Tidak! Yang saya maksud dengan relevan di sini adalah sesuatu yang dapat mendukung fungsi kristiani kita sebagai nabi, imam dan raja di tengah-tengah konteks masyarakat Indonesia sekarang dan di masa depan. Relevan berarti sesuatu yang memungkinkan kita untuk bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis di tengah keprihatinan dan pengharapan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tetap setia kepada iman kristiani kita. Lihat Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 163 penting dilakukan pada saat ini. Teologi yang disusun pada saat ini haruslah memperhatikan konteksnya, sebab teologi yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi9.Menurut Eka, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila teologi itu benarbenar kontekstual. Selanjutnya ia menegaskan bahwa setiap teologi haruslah kontekstual.10 Penegasan ini senada dengan apa yang diungkapkan Stephen B. Bevans tentang teologi kontekstual sebagai imperatif teologis. Kata Bevans, TIDAK ADA SESUATU yang disebut teologi; yang ada hanyalah teologi kontekstual ... Kontekstualisasi teologi yakni upaya memahami iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu sungguh merupakan sebuah imperatif teologis. 11 B. Deskripsi Masalah Kontekstualisasi teologi masih penting dilakukan pada saat ini. Menurut penulis, upaya kontekstualisasi teologi itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari (penafsiran) Alkitab. Kontekstualisasi tidak mungkin dilakukan tanpa perhatian dan penggalian yang serius terhadap konteks. Namun sama pentingnya, kontekstualisasi juga tidak mungkin dilakukan tanpa Alkitab.12 Di kalangan Kristen Protestan pada khususnya, Alkitab menempati kedudukan yang sentral dalam penyusunan teologi (sola scriptura). Bahkan dengan tegas dikatakan bahwa tidak ada ilmu teologi tanpa penelitian Alkitab.13 Alkitab menjadi dasar berteologi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Alkitab dalam teologi Kristen.14Belakangan ini semakin disadari pentingnya usaha pencarian cara-cara baru dan kontekstual untuk menafsirkan Alkitab. Salah satu alasannya adalah secara metodologis, kontekstualisasi teologi sebagai metode berteologi yang baru (yang memperhatikan konteks dengan sungguh-sungguh) membutuhkan suatu paradigmaEka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 8 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, hlm. 9-10 11 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), hlm. 1. Judul asli: Models of Contextual Theology, (New York: Orbis Books, 2002) 12 B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 111 13 B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, hlm. 92 14 Sesudah Konsili Vatikan II, Alkitab juga dipandang penting/sentral di kalangan Katholik. Bnd. Maria Ko Fong, Kitab Suci dengan Pendekatan Asia, dalam Ekawarta no. 02 & 03, Maret-Juni 1999, hlm. 6109